20

410 57 2
                                    

Rendra menghela napas pelan, entah kenapa dia sama sekali tidak memiliki semangat untuk sekolah. Melihat tadi Rendi yang juga seperti tidak ada semangat hidup, membuatnya ikut tidak memiliki semangat hidup.

“Emang kalau kembaran bisa ngerasain perasaan satu sama lain ya?” tanya Rendra tiba-tiba. Membuat ketiga temannya yang sedang bermain ludo, langsung teralihkan dan menatap Rendra bingung.

“Maksud?” tanya Narendra bingung.
Jeriel mengangguk paham, “gara-gara Rendi tadi pagi ya?” tanya Jeriel yang diangguki Rendra, “ya gue gak tau kalau masalah itu Dra. Tapi mungkin karena kalian kembar, perasaan kalian ya terikat satu sama lain.”

“Gue bener-bener gak tau harus hibur Rendi gimana lagi. Bunda udah, lo pada udah, gue yang tiap hari di kamar selalu nyoba. Tapi ya dia tetep gitu, padahal Nyokapnya Wina sendiri udah bilang itu bukan kesalahan dia,” jelas Rendra.

Haekal menghela napas, menghentikan permainan mereka dan memasukkan handphonenya ke saku celananya, “biarin dulu dia beberapa hari, dia mungkin masih kaget dan butuh waktu. Apalagi lo jelasin tadi keadaan Wina gak bisa dianggap sepele.”

“Tapi berlebihan kalau sampai Rendi kayak gitu. Dan juga, siapa sih Rendi sampai dititipin amanat sebesar itu? Rendi juga gak bisa kali jaga dua orang yang notabenenya gak ada hubungan serius,” kesal Rendra.

Narendra menepuk pundak Rendra beberapa kali berusaha menenangkan Rendra yang emosinya tidak stabil, “Rendi dapet kepercayaan sebesar itu dari almarhum bokapnya Wina berarti Rendi hebat Dra.”

“Tapi liat sekarang? Ketabraknya Wina sama sekali gak ada hubungan dan gak ada sangkut pautnya sama Rendi. Dan kenapa Rendi malah ngerasa bersalah sampai dia kayak gini kalau bukan karena amanat sialan itu?”

“Dra, itu atas dasar kepercayaan almarhum bokapnya Wina, Rendi mana mungkin bisa nolak?” ucap Haekal.

Jeriel menghela napas, “gue sedikit setuju sama Rendra.”

“Maksudnya?”

“Gini, rasa bersalah Rendi yang gagal jaga amanat almarhum bokapnya Wina gak akan mungkin sampe buat dia segininya. Seenggaknya dia gak sampai gak mau nemuin dan jaga Wina di rumah sakit. Itu aneh tau gak?”

“Dia gak mau ketemu Wina?” tanya Narendra bingung.

Haekal mengangguk pelan, “pas lo keluar teleponan, gue ajak Rendi buat ketemu sama Wina lagi daripada nunggu kabar dari nyokapnya Wina lewat telepon. Tapi Rendi sama sekali gak mau, dan dia malah ngusir gue dan yang lain.”

“Segitunya?”

“Iya, Rendi keliatan takut pas diajak mau ketemu Wina. Gue sendiri bingung kenapa dia bisa setakut itu,” jawab Jeriel.

“Bahkan pas awal ke rumah sakit aja Rendi gak mau masuk ke ruang rawat Wina dan milih nunggu di depan ruang rawatnya. Dia malah liat Wina dari kaca pintu yang ada disana,” tambah Rendra.

Narendra mengernyit bingung, “apa iya sampe setrauma itu? Dia gak punya trauma yang berhubungan sama rumah sakit kan Dra?”

Rendra menggeleng, “enggak. Dia gak punya trauma apapun.”

Jeriel menghela napas pelan, “gak tau kenapa sekarang perasaan gue bener-bener gak enak. Gue ngerasa ada sesuatu terjadi.”

“Jer, jangan ngaco,” ucap Haekal.

Jeriel menggeleng, “gue—“

Tring!
Tring!

Rendra segera mengangkan telepon yang berasal dari Bunda Wendi. Dia meminta temannya untuk tidak berisik.

REND - Renjun Lokal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang