26

373 59 3
                                    

Rendra menatap sang Bunda yang tengah sarapan bersamanya dan juga Jeriel. Dia tersenyum dan memegang tangan sang Bunda membuat Bundanya tentu sangat terkejut.

“Kenapa Bian? Mau nambah?” tanya sang Bunda lembut.

Rendra menggeleng pelan, “Bunda, Bunda percaya ya sama Bian? Bian bakalan nyari keadilan buat kak Al.”

“Sayang, Bunda bakal selalu percaya sama kamu. Satu pesan Bunda, kamu jaga diri kamu ya? Bunda gak mau kehilangan kamu. Karena sekarang yang Bunda punya cuma Bian.”

Rendra mengangguk pelan, “pasti. Bian bakalan selalu di samping Bunda.”

“Jeriel juga. Bunda udah anggep Jeriel anak Bunda, jadi kamu harus jaga diri kamu biar bisa terus sama Bian dan Bunda ya nak?”

Jeriel mengangguk dan tersenyum, mereka berdua sama sama memeluk Bunda Wendi. Jeriel merasa kehangatan pada usapan lembut Bunda Wendi. Jeriel merasa sangat nyaman dalam pelukan itu.

“Udah gih sana sekolah, nanti telat.”

“Jeri sama Bian berangkat dulu ya Bun.”

“Hati-hati ya, Jeriel pelan-pelan bawa mobilnya. Jangan ngebut, inget.”

“Siap Bunda.”

Jeriel dan Rendra pergi menuju rumah Narendra untuk menjemput Narendra dan Haekal terlebih dahulu.

Narendra terlihat sudah menunggu di depan rumahnya bersama dengan Haekal, “nah dateng juga. Lama banget,” ucap Narendra lalu masuk ke dalam mobil Jeriel bersama Haekal.

“Bokap lo mana Na?” tanya Rendra.

“Nanti nyusul. Jemput pengacaranya dulu sama minta beberapa polisi. Sekitar jam 10 an nanti dateng,” jawab Narendra.

Rendra mengangguk paham, “tapi gue udah bebas kan?”

“Dra, ruang radio sekolah lo bisa dipake gak sih?” tanya Jeriel, mengabaikan pertanyaan Rendra membuat temannya itu mendengus kesal.

“Kalau acara gini mungkin bisa. Gue mana tau, kan gue siswa sebulan.”

“Paling gak beda jauh sama sekolah kita Jer. Entar izin aja, alasannya Rendra yang mau ngisi. Atau lo minta tolong aja ke Elena, Dra,” usul Haekal membuat Rendra merengut kesal.

“Apaan anjir? Ogah.”

Jeriel tertawa pelan, “sambil nunggu sejaman lagi Dra. Kita mau buat pertunjukan. Anggap itu drama terakhir lo.”

“Lo pada kalau buat rencana libatin gue kek pas pembuatannya. Ini gue tiba-tiba dijadiin tumbal,” protes Rendra.

Ketiga temannya tertawa mendengar protesan Rendra, “ya gimana ya Dra. Kalau gak dadakan kaya gini, lo suka nolak. Trus yang ada entar lo milih dateng telat. Kan gak lucu,” ucap Haekal yang disetujui Narendra dan Jeriel.

Tak berapa lama, mereka sudah sampai ke sekolah. Cukup ramai dan ada beberapa siswi yang sengaja menunggu mereka. Entah karena ingin sekedar berfoto atau ingin mengobrol.

Karena saat kemarin mereka menampakkan diri di sekolah Rendi, banyak siswi yang tertarik dan ingin sekali berfoto, terutama dengan Jeriel.

Rendra saat kemarin langsung ditarik pergi oleh Elena, jadi dia tidak mengetahui apa yang dilakukan tiga temannya di sekolah Rendi.

“Lo pada kemarin ngapain aja anjir?” tanya Rendra saat menyadari banyak siswi yang menatap mobil mereka.

Haekal menggaruk tengkuknya, “tebar pesona.”

Rendra langsung menatap Haekal tajam, “astaga.”

“Enggak bisa dibilang tepos juga sih Dra. Kita cuma jalan-jalan liat perlombaan sama stand bazar trus jajan doang. Gak yang sampai tebar pesona seolah artis,” jelas Narendra. “Apalagi Jeriel, tu anak cuma main hp sama fokus liatin lomba basket futsal. Mana dikomentarin pedes pula.”

REND - Renjun Lokal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang