05 - Hanyut

4K 294 8
                                    

1 september 2014

Apa aku bisa bertahan, tanpa Kakak?

Axel mengerutkan keningnya ketika melihat foto yang hanya menampilkan warna hitam yang ditempel di kertas bagian bawah. Lelaki itu sama sekali tak mengerti apa yang ada di pikiran Hazel saat gadis itu menulis kalimat yang dibacanya tadi. Tak mungkin, 'kan Kakaknya pergi. Pergi dalam artian tak akan pernah kembali. Meninggal. Tak mungkin.

Axel tengah duduk di pinggir kolam berenang di halaman belakang rumahnya. Kedua kakinya ia celupkan ke dalam kolam merasakan sensasi dingin yang ditimbulkan dari air tersebut. Walaupun tak bisa berenang dan takut untuk berenang, setidaknya Axel masih dapat duduk di pinggiran kolam di hari yang panas ini. Jika ia bisa berenang, mungkin ia akan terus berenang seharian.

"Laura, awas lo kalo ketangkep!" Teriakan seorang gadis yang terdengar dari dalam rumahnya membuat Axel menolehkan kepalanya ke arah pintu geser yang menghubungkan halaman belakang dengan dapur. Sesaat kemudian terdengar suara seseorang tengah berlari yang disusul dengan teriakan serta tawaan.

Axel agak terkejut kala melihat Laura yang dengan cepat menggeser pintu lalu berlari di pinggir kolam di seberang tempat lelaki itu duduk sembari memegang sebuah ponsel. Di belakangnya, terlihat seorang gadis yang diperkirakan teman adiknya itu tengah berlari mengejar Laura.

Mereka berlari dengan cepat mengelilingi kolam berenang. Ketika Laura hendak berlari masuk ke dalam rumah, kakinya tak sengaja menyandung punggung Axel yang tengah duduk dengan Jurnal Hazel di pangkuannya.

Hampir saja Axek terjungkal masuk ke kolam kalau saja ia tak memeluk pinggiran tangga besi untuk kolam renang yang berada di sampingnya.

Axel tak jadi menghembuskan napasnya dengan lega ketika ia melihat jurnal Hazel hanyut tergeletak di dasar kolam.

Ia melebarkan matanya panik. Ingin Axel berteriak meminta tolong pada Laura untuk menyelam dan mengambil jurnal Hazel. Namun, adiknya yang terkesan kepo itu pasti akan bertanya-tanya buku bersampul maroon itu milik siapa. Dan Axel tak mungkin mengatakan jika buku itu miliknya.

Axel makin panik ketika melihat lembar per lembar kertas jurnal Hazel terlepas dari tempatnya dan mengapung di atas air. Lelaki itu memungut kertas hanyut yang dapat dijangkau olehnya lalu meletakkannya di tempat yang kering.

Hanya sepertiga kertas yang dapat dikumpulkannya. Sisanya masih terapung di tengah-tengah kolam. Foto-foto hasil jepretan kamera polaroid yang di tempel di setiap kertas itu juga terlepas dari tempatnya. Namun untunglah gambarnya tidak rusak.

Axel menarik napas lalu menghembuskannya dengan sangat lambat. Lalu ia mengulanginya selama beberapa kali sebelum mambuka kaus abu-abu yang tadi menutupi tubuhnya. Axel tau ini gila, namun masih banyak lembaran-lembaran yang belum ia baca dari jurnal itu.

Axel duduk kembali di pinggiran kolam. Manatap nanar kertas-kertas yang mengapung dengan gerakan yang sesuai dengan gerakan air. Ketika menundukkan wajahnya, dapat ia lihat jurnal maroon itu tergeletak mengenaskan di dasar kolam.

Sekali lagi Axel menghembuskan napas lalu membuangnya.

Mama, Papa, kalo Axel udah ngapung gak berdaya di sini, doain Axel biar masuk surga, ya. Batin lelaki itu seraya berkomat-kamit tak jelas.

Axel mulai mencelupkan kaki kanannya ke dalam kolam. Kakinya dapat merasakan pijakan yang terdapat di pinggiran kolam. Setelah itu, ia mulai mencelupkan kaki yang satunya.

Setengah badan Axel sudah berada di kolam. Tangannya memegang tangga besi dengan gemetar sementara mulutnya masih tak henti merapalkan doa-doa.

Dengan sekali tegukan ludah, Axel mengambil napas sebanyak-banyaknya sebelum seluruh tubuhnya di dorong masuk ke dalam air. Kakinya yang terus ia dorong ke bawah mulai merasakan dinginnya keramik di dasar kolam. Dengan cekatan Axel meraba-raba keramik tersebut dengan kakinya.

Merasa menginjak sesuatu, kedua kaki Axel di pergunakan seakan-akan tangan untuk mengambil jurnal Hazel. Dijepitnya buku itu dengan kedua kakinya lalu menaikkannya ke atas hingga tangannya dapat menggapai jurnal itu.

Axel kembali menyembulkan kepalanya ke atas lalu mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Lelaki itu tersenyum puas melihat jurnal maroon yang berada di tangan kanannya sekarang. Ia mulai memanjat naik melalui tangga besi kemudian menaruh buku Hazel di tempat yang sama dimana ia menaruh kertas-kertas yang berhasil dipungutnya tadi.

Namun masih ada satu masalah lagi.

Ada banyak kertas yang masih mengapung di tengah kolam. Dan kali ini, Axel tak yakin dapat mengambilnya satu-persatu.

*

"Jangan makan cepet-cepet. Ntar keselek." Ucap lelaki di hadapanku dengan datar.

Aku hanya memeletkan lidahku lalu melanjutkan melahap mi instan yang baru saja kubeli. Namun tak bisa kupungkiri pula, senyuman kecil terbit di wajahku.

Sabian Darmawan, aku memanggilnya Bian di saat semua orang memanggilnya Awan. Lelaki yang sekarang berada di hadapanku dengan tangan kanannya yang memegang sebungkus roti sementara tangan kirinya memainkan ponsel. Lelaki yang sangat datar namun kadang terlalu pengertian terhadapku. Lelaki yang menjadi temanku sejak kami belum menampakkan diri di bumi. Lelaki yang menjadi teman bermainku di rumah. Lelaki yang selalu bersamaku hingga saat ini.

Dan juga, lelaki yang menjadi cinta pertamaku sejak kecil hingga detik ini.

Tanpa sadar aku menatap Bian tanpa berkedip di tengah kantin SMA Tunas Jaya ini, sehingga ia sadar dan mengalihkan pandangannya dari ponsel lalu menatapku.

"Apa?" Tanya Bian datar. Aku hanya memalingkan wajahku lalu menggelengkan kepala. Kurasakan panas yang biasanya muncul ketika bersama Bian mulai menjalar memenuhi pipiku. Dapat kulihat dari ujung mata, Bian tersenyum kecil seraya merobek bungkus roti miliknya.

Jantungku, bisakah engkau berhenti berdetak berlebihan?

"Aska," Sahut Bian tanpa menatapku.

Aska, panggilan yang Bian ciptakan dari nama belakang-ku, Alaska.

"Kenapa?" Tanyaku acuh seraya menyeruput mi instanku, menyembunyikan jantungku yang sedari tadi berdetak dua kali lebih cepat dari yang seharusnya.

"Nggak papa." Jawabnya seraya menatapku tepat di manik. Senyuman dengan lesung pipi yang tak terlalu dalam di pipinya mulai terbit. Menebarkan sejuta pesona yang makin membuatku jatuh terhadapnya.

Melihat senyum kecilnya saja sudah membuat jantungku menggelar konser. Apa kabar jantungku ketika ia tersenyum dengan hangat seperti ini?

"Gak jelas, dasar." Ujarku berpura-pura sebal. Kusesap teh hangat pesananku lalu mengeratkan kardigan hitam yang kukenakan.

Cuaca sekarang memang sangat tak bersahabat. Tadi panas, satu menit kemudian dingin, menit berikutnya panas kembali. Dan sekarang dingin. Angin yang berhembus lumayan kencang membuat setiap helaan napas menjadi terlihat berasap. Begitupun denganku.

"Yok, cabut." Tiba-tiba Bian berdiri. Ia meraih tangan kananku lalu menggenggamnya erat. Ia memasukkan genggaman tangan kami ke dalam saku jaket putihnya.

Aku melotot kaget lalu mendongak menatapnya. "B-Bian, maksudnya ap-"

"Udah diem. Gue tau lo kedinginan." Bian memotong perkataanku dengan datar dan pandangan yang lurus ke depan.

Kurasakan rona merah sialan itu kembali hadir. Dan jantungku melakukan konser yang jauh lebih meriah dari sebelumnya.

Mungkin aku akan mati jika keadaan terus-menerus seperti ini.

----

24 April 2015

K

Dear JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang