10 - Broken-hearted

3.5K 288 16
                                    

Hazel menghela napasnya berat sembari mengaduk matcha pesanannya dengan sendok kecil. Vanni yang berada tepat di depannya hanya menggeleng pasrah dengan tingkah sahabatnya itu. Bukannya Vanni tidak peduli dengan Hazel, tapi percuma. Percuma jika ia menanyakan tentang keadaan Hazel. Vanni sudah menanyakan itu berkali-kali, namun ia selalu mendapat jawaban yang sama. Gak papa.

Mereka duduk dalam keheningan di Kafe Insomnia. Makanan kecil dan minuman yang mereka pesan seakan pajangan yang ditugaskan untuk dilihat, bukan di santap. Masing-masing ponsel juga terlihat terabaikan di atas meja.

"Gue patah, Vann." akhirnya ada kata yang meluncur keluar dari bibir Hazel, membuat Vanni menghela napasnya lega. Namun dirinya masih bungkam, mengizinkan sahabatnya untuk berucap lebih.

"Bian," Hazel menghela napasnya lagi. "Dia suka sama cewek lain." Vanni menatapnya prihatin. Ia tau Hazel menyembunyikan sesuatu akhir-akhir ini. Terlihat dari wajahnya yang--walaupun ceria, namun Vanni masih dapat melihat titik kesedihan disana. Ia tau, Hazel pasti akan bercerita jika sudah waktunya.

Dan sepertinya inilah waktunya.

"Gue gak tau harus gimana. Dia sahabat gue, gue nggak mungkin ngejauh dari dia gitu aja. Gue gak bisa." Suara Hazel mulai mengecil dan bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang bisa jatuh menetes kapan saja.

"Gue nggak bisa, Vann." Kata-kata itu meluncur bertepatan dengan air mata Hazel yang menetes, dan terus berlanjut hingga membasahi pipi dan juga blouse putih yang dikenakannya.

"Sshhh, semuanya bakal baik-baik aja, oke?" Vanni mencoba menenangkan Hazel. Dan untungnya lumayan berhasil. Gadis itu menghapus air matanya lalu menyesap sedikit matcha yang tidak disukainya itu. Hazel memang sedang kacau saat memesan. Jadi ia hanya asal menyebut minuman berwarna hijau itu.

Bunyi bel terdengar dari pintu yang terdorong masuk oleh seorang lelaki. Lelaki itu menyusuri pandangannya di sekitar lalu melihat dua perempuan yang salah satunya sangat dikenalinya. Sontak ia berderap menuju meja yang tak jauh dari pintu tersebut dengan cengiran kecil di wajahnya.

"Hai,"

Hazel dan Vanni lantas mendongak, mendapati Bian dengan kaus biru tua dan celana pendek hitam bermotif kotak-kotak yang tengah tersenyum ke arahnya.

"Hai, Bian." Vanni menjawab lebih dulu sapaan dari Bian. Lelaki itu mengerutkan dahinya saat melihat Hazel yang mengalihkan pandangannya dan lebih memilih menatap cangkir matcha di depannya, seakan cangkir itu adalah objek langka yang wajib dilihat.

"Kenapa, Zel?" Bian mengelus kepala Hazel. Membuat gadis itu diam-diam menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang mulai terbendung kembali.

"Ng-Bian, kayaknya lo pergi-"

"Gue nggak papa, kok." Hazel memotong ucapan Vanni. Gadis itu menatap Bian yang terlihat khawatir serta bingung. Ia tersenyum kecil, membuat Bian sedikit lega.

"Bagus kalo gitu," Bian tersenyum sesaat. "By the way, gue minta saran lo dong." Hazel menatap Bian seakan berkata 'Apa?'. Kedua tangan Bian merogoh kantung celana pendeknya lalu mengeluarkan kedua benda itu.

Mata Hazel membesar. Di tangan kanan Bian terdapat gelang perak dengan corak daun yang memiliki hiasan serupa berbentuk hati. Sementara di tangan kirinya terdapat sebuah kalung dengan bentuk pesawat kertas yang terbuat dari perak sebagai bandulnya.

Hazel menegak ludahnya. "I-Ini untuk siapa?"

Bian kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. "For my Resha."

Jantung Hazel seakan hilang entah kemana. Ia tak bisa mengumpulkan oksigen untuk bernapas. Se-sesak inikah?

Gadis itu melirik Vanni. Ia menatap Hazel balik dengan pandangan khawatir serta gelengan kecil di kepalanya. Hazel hanya tersenyum kecut dan kembali menatap Bian.

Dear JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang