06 - Sendirian

3.7K 286 8
                                    

Axel dengan susah payah mengambil lembaran demi lembaran kertas dan foto polaroid yang basah lalu menjepitnya dengan jepitan baju di seutas tali tempat pembantunya biasa menjemur pakaian. Untunglah, hari ini pembantunya tidak hadir sehingga lelaki itu bisa dengan leluasa menjemur kertas dari jurnal Hazel beserta foto-fotonya di loteng rumah tanpa diketahui siapapun.

Ketika kertas-kertas dari jurnal Hazel itu terapung di atas kolam, Axel mengambilnya dengan jaring yang digunakan untuk mengambil kotoran di kolam dengan susah payah. Sesudah itu, Axel berjanji pada dirinya sendiri untuk belajar berenang.

Setelah semuanya dijepit, Axel berjalan turun menuju kamarnya. Diambilnya secangkir teh hangat di atas meja belajarnya lalu melompat turun dari luar jendela kamar yang berhubungan langsung dengan atap yang berada tepat di bawah jendela.

Axel duduk seraya menyesap tehnya. Ia menatap jalanan komplek di depan rumahnya dengan helaan napas yang berat.

Hazel, lo bikin gue mati penasaran.

Axel kembali menyesap tehnya hingga tetes terakhir. Lelaki itu kembali ke kamarnya dan menaruh cangkir itu di atas meja belajar. Diambilnya sampul jurnal Hazel yang sudah kering di atas nakas kemudian diusapnya sampul yang dijahit dengan kain wol berwarna maroon itu dengan lembut.

"Kakak, bukain pintunya!" Teriakan Laura memenuhi indera pendengaran Axel. Dengan cepat lelaki itu menyembunyikan sampul jurnal Hazel di bawah bantal lalu membuka pintu kamarnya.

"Kenapa?" Axel mengelus puncak kepala adiknya dengan lembut. Membuat gadis kecil itu terkekeh.

"Mama bilang nanti malem Mama, Papa sama Laura mau pergi ke Surabaya. Papa ada urusan sebentar. Abis itu kita liburan!" Teriak Laura senang.

Axel mendengus. "Kok liburan? Bukannya kamu sekolah besok? Ini 'kan hari selasa, Laura." Tanya lelaki itu tak terima. Masa' ia harus menjaga rumah sendirian ketika orang tua dan adiknya bersenang-senang nanti? Itu namanya tertawa di atas penderitaan orang lain.

"Sekolah Laura libur empat hari gara-gara mau dipake'." Laura menjulurkan lidahnya lalu berlari cepat ke lantai bawah.

Axel mengacak rambutnya gusar. Selama empat hari ia menjaga rumah, membersihkan rumah, memasak, membeli kebutuhan rumah, sendirian? Gila. Membersihkan kamarnya sendiri saja membutuhkan waktu yang lama. Apalagi rumahnya.

*

"Kakak pergi." Kak Davian menyeret koper besarnya lalu membuka pintu utama.

"Kakak, yakin mau pergi hari ini?" Aku menunduk, menyembunyikan raut wajahku yang jelas-jelas sedang menahan tangis.

Dapat kulihat dari ujung mata, kak Davian tersenyum kecil lalu mengacak rambutku. "Besok kakak udah harus kuliah," Jeda sejenak. "Jagain Mama sama Papa, ya."

Kak Davian mengecup keningku lama. Kemudian mengelus rambutku dengan pelan. Aku mendongak, menatapnya dengan senyuman kecilku.

"Hati-hati, kak."

Kak Davian mengangguk. Ia menyeret kopernya lagi menuju taksi yang sudah menunggu di depan rumah. Setelah masuk taksi, kak Davian melambaikan tangannya ke arahku. Kubalas lambaiannya dengan senyuman kecil. Sesaat kemudian, taksi itu berjalan menuju Bandara.

Aku menghela napasku, sendirian lagi.

Barusan kak Davian kembali lagi ke Jogja untuk melanjutkan kuliahnya. Mama dan Papa tak bisa mengantar karena mereka ada urusan penting yang harus mereka hadiri. Jadi, kak Dav terpaksa menelpon taksi untuk mengantarnya ke Bandara.

Aku kembali berjalan masuk ke dalam rumah. Kuambil sekotak jus dari kulkas lalu membawanya ke kamarku yang mirip sekali dengan tong sampah.

Bayangkan, aku rela membongkar seluruh isi kamarku demi mencari jurnal maroon itu. Saking berantakannya, aku terpaksa tidur di sofa ruang tamu. Dan sialnya, aku belum menemukan buku itu hingga sekarang!

Hari terbaik yang pernah kujalani. Hah.

Agar malam ini aku tidur nyenyak di kamarku sendiri, aku memutuskan untuk membersihkan tempat ini menjadi tempat yang layak pakai.

Aku menaruh kotak jus jeruk itu di atas meja belajarku. Kuambil buku-buku yang berserakan di lantai lalu menaruhnya kembali ke rak buku. Kumasukkan sampah-sampah yang berceceran ke dalam tempat sampah lalu menyapu seluruh sudut kamarku.

Setelah berlama-lama kemudian, akhirnya aku bisa dengan santai duduk di balkon kamar sambil meneguk jus jeruk yang ditemani dengan kue kering. Ah, indahnya dunia.

Ponselku bergetar di saku celana yang kukenakan. Kuambil benda itu lalu melihat pesan LINE yang baru saja masuk.

Sabian : Mau jalan?

Aku tersenyum. Bian, dari dulu tak pernah berubah. Selalu to the point jika ingin mengatakan sesuatu.

Hazel Alaska : Basa-basi dulu, kek :p

Sabian : Yaudah. Eh, hari ini cerah ya. Pemandangannya indah lagi. Jalan yuk :3

Sabian : Oke, anggep aja tadi bukan gue yang ngetik.

Sabian : Geli sendiri gue bacanya.

Aku tertawa kala membaca pesan dari Bian. Ada-ada saja orang ini.

Hazel Alaska : Yaudah ayok deh. Kemana?

Sabian : Liat aje nanti. Satu jam lagi gue jemput.

Hazel Alaska : Okayy.

Aku segera meneguk habis minumanku dan beranjak masuk ke kamar.

Sepertinya ini memang hari terbaik.

----

3 Mei 2015

Dear JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang