➖ Jealous (2)

2K 214 9
                                    

Semua baik-baik aja seminggu kemudian, seminggu setelah Kafka masukin Gemma ke apartemennya.

Apartemen Kafka udah steril. Karena itu juga, sebagian interior dirombak. Furnitur dan tata letaknya diganti supaya lebih fresh. Gitu kata Papa dan Mamanya. Mama bahkan minta ART mereka bersih-bersih apartemen Kafka seharian.

Tapi, keanehan justru udah dimulai dari minggu lalu, sayangnya Kafka nggak sadar. Dan baru sadar. Baru banget. Bingung, kan, sama penjelasan dari Kafka? Dia aja bingung sama dirinya sendiri.

Dari minggu lalu, Ata hampir selalu punya alasan supaya mereka nggak bisa ketemu lama-lama. Atau nggak ketemu sama sekali. Padahal Kafka banyakan nganggur tiap malem di apartemennya daripada kelayapan bareng Candra dan Karel yang sampai sekarang skripsinya nggak kelar-kelar.

"Kamu tumben rajin pulang, Kaf?"

Kafka noleh ke asal suara. Papa turun dari lantai dua. Mama ngikut sambil nyepol rambut.

"Anaknya pulang, ditumben-tumbenin. Jarang pulang, kamu omelin. Gimana sih, Pa!"

Sambil mindahin channel TV—yang udah dilakuin hampir setengah jam saking bosennya, Kafka ketawa. Mamanya, meskipun doyan ngomel, hampir selalu jadi pendukungnya. Papanya kalah.

"Ngomong-ngomong, Papa belum sempat nanya ini." Papanya duduk di dekat Kafka. "Kenapa tiba-tiba minta apartemenmu disteril?"

Kafka noleh ke Papa. Sementara Mama duduk di sampingnya yang bosen setengah mati sama tayangan TV, tapi mati gaya—alias nggak punya kesibukan apa-apa malem ini. Ata nggak mau ketemu. Katanya, mau ada acara di persma dan dia sibuk. Pulangnya juga nggak mau dijemput dan dia diomelin karena sempat maksa mau nunggu di kampus sampai Ata selesai sama kesibukannya.

"Ata nggak mau masuk apartemenku."

"Kamu bawa cewek lain?"

Kafka cemberut. Sekarang, kelihatan banget kalau Papa stalking apartemen dia sampai ke akar-akarnya. "Gemma dateng. Tau-tau udah dilobi dan minta akses. Ya udah."

"Ya udah apa?"

Kenapa Papa jadi kepo banget gini sih? "Ya udah dikasih, Pap. Dia juga cuma nganterin kado."

"Cuma? Kok Ata sampai cemburu banget?"

Kafka noleh ke asal suara. Kak Jessy keluar dari ruang makan sambil bawa segelas jus tomat. Harusnya Kafka nggak heran karena Kak Jessy punya kuping yang lebih tajam daripada kuping siapa pun.

"Tau dari mana?" tanya Kafka.

"Ata, lah!" Kak Jessy sewot. Kenapa sih dia?

Kak Winda muncul dan duduk di samping Papa. Aduh, Kafka paling males kalau lagi pada ngumpul dan dia jadi topik utama obrolan mereka.

"Ata nggak mau ngomongin apa pun soal kamu," kata Kak Winda.

"Hah?" Kafka jadi bingung sekarang, tapi juga jadi mulai mikir kalau ternyata dia nggak salah-salah banget waktu ngira kalau ada yang aneh sama Ata. Mereka baik-baik aja dan sempat ngobrol. Meskipun hari itu nggak jadi pulang ke rumahnya dan malah ngobrol di coffee shop yang ada di gedung apartemen.

"Kamu gimana sih, Kaf? Kok bisa nggak sadar?" Sekarang, Mama ikut-ikutan mojokin dia.

Ini ada apa sih?

"Gimana apanya?" Kafka masih bingung.

"Aduh, kamu tuh IQ doang tinggi, EQ jongkok!" Kak Jessy geleng-geleng emosi sambil duduk di single sofa. "Aku sama Kak Winda kemarin ketemu Ata. Dia lagi nganterin temennya beli sepatu. Tumben banget mainnya jauh. Jadi aku ajak makan biar sampai kos bisa langsung istirahat, tapi dia nggak mau. Aku ajak beli ice cream kesukaan dia mumpung nggak antri banget, juga nggak mau. Terus aku inget, hampir tiap malem kamu diem di sini sambil pasang muka kayak duit nggak laku dan nonton NatGeo diulang-ulang. Aku curiga, lah! Karena Ata kalem dan nggak hobi nyari masalah, pasti kamu biangnya."

Papa ketawa sama omelan Kak Jessy buat Kafka.

"Jadi Ata sama Kafka berantem, Jess?" Mama mulai paham sama arah obrolan mereka—ocehan Kak Jessy tepatnya.

Kak Jessy ngangguk. Kafka pengen banget nyela, tapi dipelototin duluan. Double sama Kak Winda yang jarang emosi, lagi. "Yes, Mam. Ata cemburu sama Gemma. Cemburu pake banget! Makanya ngehindar dari Kafka pakai segala jurus!"

"Untung aja, Ata sama temennya berangkat naik bis, jadi mereka mau ditebengin ke kos," kata Kak Winda. "Dan mau ditanya-tanyain sedikit."

"Aku sama Ata nggak kenapa-kenapa seminggu ini." Kafka sebenernya ragu ngomong begini.

"Nggak mungkin!" Kak Jessy udah kayak cenayang.

Kafka natap Kak Jessy sebel. "Aku sama Ata yang ngejalanin. Diem deh, kamu."

"Kamu denial, Kaf." Kak Winda nyahut. "Ata udah nggak ke apartemenmu seminggu, kan? Meskipun semua udah steril dan nggak ada 'virus-virus Gemma'. Iya, kan?"

Kafka masih mikir jawabannya karena dia nggak mau kena semprot omelan lagi, tapi Kak Winda udah ngelanjutin, "Jumat kemarin, waktu kita makan malem dan Ata nonton bareng-temennya—padahal satu gedung mall, dia nggak mau nyamperin. Disamperin kamu, malah kabur. Katanya mau pulang, tapi Jeric kelihatan Ata sama temen-temennya makan di depot ujung jalan, empat ratus meter dari pintu masuk mall. Masih denial juga? Inget-inget, deh, kemarin waktu kamu jemput aku abis ngeliput deket kampus kalian. Ata milih jalan kaki daripada ikut mobilmu. Alasannya biar kita cepet pulang, nggak perlu bolak-balik nganter dia lalu muter karena lawan arah. Padahal kosnya Ata nggak sampai lima ratus meter dari gerbang kampus. Deket banget."

"Kalau egomu masih setinggi langit gini, jangan nyalahin kalau nanti Ata cari yang baru!" Kak Jessy emosi.

Denger omelan slash analisis Kak Jessy dan Kak Winda, Papa ketawa lagi. Mama geleng-geleng sebel.

"Kaf, kamu nggak bisa milih dua-duanya." Papanya ngingetin. Kafka ngerti banget. Dia juga nggak ada niatan ke arah sana.

"Kok milih sih, Pa? Papa jangan ngedukung yang nggak-nggak, deh! Mama suka sama Ata." Mama mulai protes. "Kamu jangan sok superior gini, dong! Aduuh, Mama pusing sama kelakuanmu yang satu ini. Tobat, Kaf. Jangan baik ke semua cewek."

Kafka melongo.

Nyalahin Kafka, bukan mamanya banget. Tapi kalau sampai itu terjadi, berarti dia udah ngelakuin hal bego.

"Mam, ngomong apa sih ...."

Papa ketawa lagi. seneng banget Kafka kejepit omelan cewek-cewek. Kalau Kak Irina nggak lagi keluar sama Kak Satrio, pasti Kafka juga dapet kuliah manner dari kakak sulungnya itu. "Ngapain diem aja? Sana samperin pacarmu. Minta maaf. Inget, jangan sok superior, Kaf. Apa udah nggak mau lagi sama Ata?"

Kafka melototin Papa. "Jangan ngomong gitu, dong, Pap. Omongan itu doa!"

"Makanya jangan diem di sini dan nggak ngerasa bersalah!" Kak Jessy masih emosi. "Usaha, dong!"

"Ata nggak mau aku tungguin di kampusnya." Kafka ngambil HP di meja dan baru sadar kalau chatnya belum dibales sama Ata.

"Pakai cara lain, Kafka. Kalian kan udah pacaran lama. Jangan kayak orang nggak kenal Ata, deh. Coba pikirannya dibuka biar berkembang. Jangan semuanya harus berpusat ke kamu." Kak Winda ngomel lagi.

Kafka nurut. Dia nyoba nelpon Ata. Udah empat kali, tapi belum diangkat juga. Kafka hampir nyerah. Waktu mau nekan tombol end call, Mama iseng nekan speaker. Pas banget waktu telepon kelima akhirnya dijawab.

"Halo?"

Suara cowok.

Aduh.

Aduh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Boyfriend ✔ #1Where stories live. Discover now