➖ His Family and The Standard

2K 227 16
                                    

Makin dekat sama keluarga Kafka, makin sering Ata diajak ke acara keluarga besarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Makin dekat sama keluarga Kafka, makin sering Ata diajak ke acara keluarga besarnya. Bulan lalu, dia ikut Kafka di acara ulang tahun sepupunya. Perayaan ulang tahun anak umur tujuh tahun yang nggak beda sama perayaan sweet seventeen. Meriah. Keluarga besar kumpul. Bulan ini, ulang tahun adik dari Papanya Kafka. Sebagai anak sulung, Papanya Kafka nggak boleh absen. Yang berarti, mamanya ikut. Yang berarti lagi, anak-anaknya ikut. Dan karena udah pada punya pasangan, pasangannya juga ikut.

Dan, di sini lah Ata. Di ballroom hotel kenamaan ibu kota, di tengah-tengah kaum jetset, di antara remaja dengan penampilan mentereng, di antara milenial yang menenteng tas merek eropa dan sepatu hak tinggi yang kilaunya ngalah-ngalahin sepatu kaca punya Cinderella.

Karena Kafka lagi diajak papanya dan Kak Satrio buat ketemu si pemilik pesta, Ata terjebak di antara para sepupu Kafka yang kinclong from head to toe. Beberapa dari mereka seumuran Ata.

"Semester berapa, Taa?"

"Enam." Ata senyum. "Kamu semester akhir, ya?"

Syafira ngangguk. "Minggu depan sidang. Gue mau bikin graduation party, tapi Kafka mau dateng kalau pacarnya dikasih free pass. Lo dateng, ya. Weekend, kok."

"Mau lanjut ke mana ntar, Taa?" tanya Anggun sebelum Ata sempat ngejawab Syafira.

"Belum tau." Ata senyum lagi. Sebenernya dia capek kebanyakan senyum. Tadi dia nggak sengaja denger bisik-bisik di kamar mandi yang isinya: pacarnya Kafka jutek banget, mukanya songong padahal nggak cantik-cantik amat, mana orang biasa banget. Ata nggak tau gimana bisa mereka mikir kayak gitu karena default mukanya emang begini. Nggak mungkin juga dia senyum setiap saat. Yang ada disangka orang gila. "Mungkin nyari kerja ...."

"Duh, anak ekonomi kalau nggak lanjut S2, mau ngapain?" tanya Mya. Nadanya ngeremehin. "Dulu gue magang di UNDP dan lanjut kuliah lagi, masih struggle dua tahun baru dapet tempat kerja yang menjanjikan. Apalagi yang nggak punya pengalaman apa-apa. Lagian, lo kan di negeri, Taa. Mana negerinya nggak main-main. Ambil S2, lah. Biar kerjanya nanti bisa linier sama jurusan lo."

Ata kaget, tapi dia berusaha tenang. Emangnya kenapa sih kalau nggak bisa kerja yang linier sama jurusannya? "Ambil S2 kan juga butuh pengalaman."

Aduh, Ata ngerasa bego karena jawab gitu. Tapi omongannya nggak bisa ditarik.

"Ya, lo magang dong! Kalau seukuran lo yang di kampus negeri nomor satu—katanya, jangan di sini-sini aja. harus eksplor," timpal Marissa yang sekarang juga masih semester enam.

Ata juga mau, tapi duitnya dari mana? Udah cukup dia nyusahin bapak-ibunya dengan merantau, dia nggak mau magang juga harus merantau. Ke luar negeri, pula. Di sini aja, Ata masih struggle nyari. Nggak segampang yang dibilang orang-orang.

"Iya, nanti aku pikirin, Kak. Makasih masukannya."

"Dijalani, Taa. Ngapain dipikirin?" Anggun ngoreksi. "Kalau mau sukses, usahanya emang harus full. Sorry to say, pacar lo kan Kafka. Kalau lo gini-gini aja, nggak sebanding sama dia. Dia bisa aja masuk konsultan yang lebih menjanjikan, tapi Kafka kadang kelewat sederhana. Atau karena lo, ya, Taa?"

Kapan sih dia ngehalangi Kafka?

Tapi Ata cuma senyum. Percuma juga dia ngomong dan protes. Suaranya nggak berarti apa-apa buat mereka.

Mya ketawa pelan. "Jujur, gue lebih ngira Kafka bakal sama Gemma."

Gemma lagi. Gemma lagi.

"Lo kenal Kak Gemma, nggak, Taa?" tanya Marissa.

"Udah pasti kenal, dia kan mantan terindahnya Kafka," sambar Anggun.

Gemma cuma temennya. Sok tau, deh, kalian.

Ata senyum lagi, sampai nggak bisa ngitung udah keberapa kali dia senyum selama duduk semeja bareng sepupu-sepupu Kafka. "Tau, kok."

"Gue ngundang Kak Gemma ke party minggu depan," kata Syafira. "Lo harus dateng, Taa. Biar tau standarnya Kafka sebelum sama lo."

Biar nggak makin panjang, Ata ngangguk aja. Meskipun dia janji ke diri sendiri kalau nggak bakal dateng ke acara itu. Nggak tahan lagi sama suasana di sekitarnya, Ata berdiri. "Aku ke kamar mandi dulu, ya."

Sebelum dikasih izin, Ata nyambar HP dan clutchnya di atas meja, lalu balik badan. Kak Jeric yang jangkung berdiri di depannya. Harusnya Ata nggak kaget karena meja sebelah diisi para sepupu cowok. Ada Kak Jeric dan Kak Ardan di sana. Kak Ardan di seberang meja, sedangkan kak Jeric tempatnya persis di belakang kursi Ata.

Apa dia denger semuanya?

"Taa, mau dipanggilin Kafka?"

Ata senyum. "Nggak usah. Aku cuma mau ke kamar mandi. Udah tau kok tempatnya."

Kak Jeric natap dia lama dan nggak biasa. Ata makin yakin kalau kak Jeric denger semuanya.

"Mau dianterin? Biar nggak sendirian balik ke sininya."

"Nggak apa-apa, Kak. Aku bisa sendiri."

Sebelum ditahan lagi sama Kak Jeric, Ata buru-buru pergi dari tempat ini. Sebenernya dia pengen pulang naik ojek, tapi jelas itu nggak mungkin.

Begitu sampai di toilet wanita, Ata masuk ke bilik paling ujung dan nangis di sana sejadi-jadinya.

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang