4. Insidious

469 65 1
                                    

Banyak cara, banyak rencana,
namun sedikit masa.

ILY from 195 Countries

..

Matahari sudah tenggelam dari setengah jam yang lalu. Taehyung pulang dengan ketakutan. Buru-buru menuju kamar untuk mengemas barangnya agar ia bisa segera pergi sejauh-jauhnya.

"Luar negeri, kalau perlu aku harus pergi keluar angkasa sekalian, jauh dari si pembunuh itu bahkan semua orang." monolognya seraya memasukan asal pakaiannya ke dalam koper.

"Si buronan gila. Bagaimana mungkin aku sampai bisa terlibat insiden dengannya seperti ini, mengancam dan menyeretku. Polisi gadungan, menembak, berurusan dengan hal-hal berbahaya. Kenapa hidupku jadi sebegini malang, hiks."

Pergerakan Taehyung terhenti. Tak sadar air matanya jatuh ke pipi, Taehyung terduduk di tepian kasur. Ia menangis.

"Eomma, aku lelah."

"Tae—

Taehyung mendongak begitu mendengar suara pintu kamarnya terbuka dengan disusul suara panggilan atas namanya.

Netra Taehyung menggelap penuh kebencian begitu ia tahu yang berdiri di ambang pintu kamarnya adalah JK. Si buronan gila itu, bagaimana bisa mengikutinya sampai kesini.

"Mau apa kau disini?"

"Kau yang mau apa disini? Kau bodoh atau apa?"

"Ini rumahku. Terserahku jika aku mau disini atau tidak, justru kau yang harusnya ku sebut gila, masuk ke dalam rumah orang begitu saja. Tak di ajari adab dan tatakrama bertamu oleh orang tuamu ha?" Taehyung menjawab dengan suara yang sesegukan.

Taehyung kembali menangis tanpa peduli JK yang akan menganggapnya lemah atau apapun, Taehyung benar-benar tak peduli.

"Apa perlu mengemas semua ini?" Tanya JK begitu melihat sebuah koper yang terbuka dan tertumpuk banyak pakaian disana.

"Apa urusanmu?"

"Taehyung ini bukan acara camping sekolah atau vacation. Kau tak akan memerlukan itu."

Alis Taehyung bertaut. "Kau pikir aku setuju padamu? Kau pikir aku akan pergi bersamamu? Bermimpi saja sana di bulan!" ujarnya dengan nada tegas, amarahnya ingin ia keluarkan semuanya. Orang asing itu harus paham betapa ketakutannya ia saat ini.

"Ku tegaskan sekali lagi, kalau kau harus pergi bersamaku Taehyung."

"Aku memang mau pergi, pergi darimu, dari semua orang, bahkan kalau bisa dari dunia ini."

"Jaga ucapanmu. Kau hanya akan pergi bersamaku, ayo!" JK menghampiri Taehyung dan menarik pergelangan tangan lelaki itu. Kesabarannya sudah habis menghadapi pria satu ini. Namun Taehyung sama sekali tak beranjak dari posisinya.

"Ku bilang ayo, sebelum mereka tahu kita ada disini. Kau tahu dengan kau kembali kesini saja itu adalah kebodohan, kau sudah terlibat kekacauan besar denganku, mereka pasti memantau rumahmu, mereka mengejarmu, dan kau malah menyerahkan diri seperti ini?"

Taehyung memberanikan diri mengambil tatap kepada JK. "Apa bedanya? Mereka akan membunuhku dan kau juga sama kan?"

"Kim Taehyung jangan membuatku marah. Pergi denganku atau aku akan memaksamu."

"Aku membenci mu! Kau dengar? Jadi sekarang pergi dan tinggalkan aku."

DOR!

Taehyung terperanjat saat satu suara tembakan terdengar mengudara, di susul lampu-lampu yang seperti menyoroti rumahnya. Banyak terdengar kerumanan di depan dan Taehyung sudah tahu, riwayatnya akan tamat setelah ini.

Ia pasrah, menutup matanya menahan air mata yang siap menganak pinang, namun sebuah tarikan pada pergelangan tangannya memaksanya untuk sadar pada keadaan.

"Sial kenapa mereka cepat sekali." gerutu JK seraya mencari jalan keluar dari sana. Taehyung bersikeras melepaskan genggaman tangan itu terhadapnya, ia tak mau lagi menghadapi semua bahaya yang menanti, Taehyung tak mau.

"Pergi saja sendiri."

"Kau harus ikut!"

"Aku tidak mau."

"Kim Taehyung! Argh, kau yang memaksaku!"

Kesabarannya sudah benar-benar hilang, bukan meninggalkan, JK justru mengambil sebuah sapu tangan dalam saku celananya, dengan tiba-tiba Taehyung di bekap tanpa aba-aba, dan yang Taehyung rasa setelahnya pandangannya buram dan kesadarannya hilang perlahan.

.

Derap langkah terdengar menggema dalam ruangan tanpa cahaya, semuanya gelap gulita. Seorang pria bertubuh tinggi terlihat menghampiri pria lain yang tengah menyendiri di dalam ruangan itu. Menyalakan pematik api untuk dijadikan penerang bagi jalannya. Lengkungan seringai tercipta spontan begitu retinanya menangkap sosok miris itu nampaknya semakin mengenaskan.

Pria tinggi itu berjongkok tepat di hadapan sosok yang kini terduduk dengan keadaan yang cukup malang untuk sebutan baik-baik saja.

"Apa kabar, Ji?" Pertanyaan ditujukan pada pria penghuni ruangan gelap. "Ku lihat sepertinya kau semakin hilang kewarasan—"

"Tutup mulutmu, bandit!" Belum sempat kalimat itu terselesaikan, pria dengan sebutan Ji lebih dulu merasa tersinggung lalu memberi satu bogem mentah tak main-main tepat pada rahang yang barusan berucap. Membuat sosok itu hilang keseimbangan dan membuatnya jatuh tersungkur hingga pematik api yang ada ditangannya mati entah terlempar kemana.

Bagai tak peduli. Kekehan kecil syarat sindiran yang terdengar justru menjadi balasan. Ia malah semakin gencar menggoda untuk lebih memacing angkara pria Ji.

Sosok itu bangkit dan berdiri namun diam di posisinya. Tidak dengan mulutnya yang tetap bekerja mengompori. "Kau kecolongan lagi."

"Lihat ulah si bedebah kecil itu, dia baru saja menambah lagi daftar anak buahmu yang mati sia-sia karenanya. Setelah ini aku yakin polisi akan meringkus semua anak buahmu yang ada di negara ini, mereka sudah curiga karena kejadian di pusat kota. Dan kau mau terus diam seperti ini hah? Menunggu apa? Menunggu ajalmu datang?" Lanjutnya.

"Ku bilang tutup mulutmu, Park!" Bentak pria Ji bersamaan dengan suara benda yang terlempar keras entah benda apa. "Kau hanya mantan napi yang tak punya kehidupan lagi, jangan bicarakan urusanku seolah kau tahu semuanya."

"Terserah, tapi tawaran emasku tak akan datang dua kali. Aku bisa saja mengagalkan rencananya. Dengan syarat, aku bisa mengendalikan semua anak buahmu, bagaimana?"

"Dalam mimpimu!" Desisnya tak terima. "Kau pikir aku sebodoh itu hah? Kau memang licik Park, tapi aku lebih cerdik."

"Cerdik tapi pengecut! Dengan bersembunyi di dalam ruangan tanpa cahaya sambil menyesali perbuatannya." Dengusan remeh terselip dalam kalimat si pria Park setelah berucap.

"Aku tak ada bedanya denganmu, berkaca lah, putus asamu jauh lebih buruk dari pada aku!"

"Tapi aku tak pernah sekacau dirimu, aku tak pernah menangis menyesali perbuatan ku, aku tak pernah melihat apapun yang ada di belakangku."

Hingga kejadian itu di akhiri oleh malangnya nasib pria Park yang di pukul sampai babak belur. Namun pria Ji masih membiarkannya pergi tanpa niat menghabisi nyawa sosok itu.

Jika aku tak bisa bersamamu maka biarkan aku pergi.

"Arghhh!" teriaknya frustasi, ingatannya terus mengulang masa dua tahun lalu tanpa henti.

Bagaimana air mata itu menetes karenanya, bagaimana tatapan kecewa itu tersirat di raut manisnya, bagaimana semuanya terasa begitu cepat hingga untuk bernapas pun ia merasa sesak. Cintanya menghilang membawa seluruh hidupnya.

"Aku sudah mati, aku sudah mati bersamamu sayang."

ILY from 195 CountriesWhere stories live. Discover now