Prolog

1.5K 47 0
                                    

Bising jalanan kota seolah bukan hal baru yang terdengar di telinga. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tidak menyurutkan keramaian. Dari pinggir kota,  sebuah industri masih begitu segar berdiri sepanjang hari.

"Mbak Gita apa tidak lagi yang perlu saya kerjakan?,"tanya gadis berambut pirang mengemas barangnya.

Pertanyaan itu sontak membuat gadis berjilbab di ruangan terpisah kaca mendongak. Kacamata anti radiasinya menambah kesan lelah di wajahnya.

"Tidak, terima kasih, Celine,"ucap Gita kembali menatap layar komputer di depannya.

"Oalah. Saya kira mau menghabiskan pekerjaan sendirian sampai Mbak Gita lembur lagi,"ucap Celine berhenti di depan mejanya.

"Rencananya begitu. Tapi besok saya ada kunjungan ke Surabaya dan belum bersiap. Duluan saja,"ucap Gita membuatnya mengangguk sebelum berlalu meninggalkan ruangan.

Papan nama Dyah Anggita Anindyaswari di depan mejanya sudah menjelaskan siapa dirinya. Seorang manager muda divisi laboratorium pabrik urea terbesar di Indonesia yang berdiri di antara jajaran nama besar perusahaan. Untuk ukuran perempuan yang bekerja di PT Pupuk Anumerta, gadis itu berada pada tingkat paling muda dengan pencapaian besarnya.

Drrt

"Halo,"sapa Gita sembari menunggu komputernya mati.

"Mbak Gita. Pak Ramli meminta Anda membuat PowerPoint untuk membuat jalinan mitra kerja pada saat kunjungan besok,"ulas di seberang telfon.

"Saya sudah menyiapkan. Saya kirimkan ke Anda segera ya,"ucap Gita menutup telfon tanpa basa-basi.

Dunia kerjanya memang tidak memerlukan basa-basi untuk semua hal. Tingkat disiplin yang ditetapkan Gita di divisi laboratorium tidak jarang membuatnya terkesan dingin. Kata-kata yang ketus tidak jarang terucap begitu saja dari bibirnya tanpa bisa terkendali.

Menyabet jas lab di lengannya, Gita keluar dari ruangan meninggalkan ruang kerja selama beberapa tahun ini. Lampu yang berkedip pelan membuat nyalinya sedikit ciut. Wajahnya begitu ketus namun dirinya masih saja sangat penakut dengan hal kecil seperti itu. Namun gadis yang menjunjung tinggi profesionalitas itu mampu menyembunyikan dengan apik.

"Pak Hilman. Saya minta tolong, lampu di lantai tiga di divisi laboratorium diperbaiki. Saya khawatir itu membahayakan,"ucap Gita setengah beralibi.

"Baik Bu. Mau saya ambilkan mobilnya Bu?,"tanya Hilman membuatnya menggeleng pelan.

"Tidak terimakasih Pak. Selamat malam,"ucapnya meninggalkan pintu masuk.

Parkiran sepi menyisakan mobilnya dan beberapa mobil pegawai divisi lain sudah menjadi pemandangan biasa baginya. Mobilnya melaju meninggalkan area kawasan pabrik menuju perumahan dinas PT Pupuk Anumerta tidak jauh dari sana.

Mengingat sayuran di kulkasnya telah habis membuatnya memutar balik membelah jalanan menuju pusat kota. Tanpa mengganti seragam yang masih melekat, Gita mengenakan sweater dan sendal jepit memasuki sebuah swalayan.

Gadis itu bisa saja bergaya seperti para istri di jajarannya. Tas branded dengan tampilan memukau bak aktris papan atas. Namun dirinya terlalu malas untuk banyak bergaya dan menghamburkan uangnya. Pembangunan rumah pribadinya saja masih setengah jadi sudah membayangkan yang tidak perlu.

"Miss Independent mau belanja apa nih?,"sapa seorang perempuan masih mengenakan blazer hitam khas wanita modern.

"Tumben Azhara Lovanka pergi belanja sendirian,"ucap Gita tidak tahan mencibir lawan bicaranya.

"Ayolah. Aku sudah lama tidak memasak sendiri. Mumpung sedang tidak ada penerbangan malam ini,"ucap Azhara menambahkan paprika di keranjang belanjanya.

"Bukan itu maksudnya. Kemana pramugara yang biasanya menemanimu kemana-mana itu?,"tanya Gita.

Renjana : Arutala Dirgantara Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt