Bab 44 : Berteduh

196 13 4
                                    

Dentuman palu seirama dengan bunyi ketikan keyboard. Meskipun aku memutuskan mengambil cuti, tidak mungkin melepas tanggung jawab begitu saja terhadap beberapa berkas yang belum sempat terselesaikan. Aku mengambil cuti demi mengurus suami tercinta.

Sayangnya pria itu tidak bisa berhenti untuk tetap duduk diam. Disini lah aku berakhir dengan kacamata anti radiasi masih bertengger di mata berkacak pinggang melihat pria yang berambut cepak itu asyik bertukang.

Beberapa menit lalu dirinya bertengger di atas tangga memperbaiki atap. Sekarang dirinya malah berpindah ke samping rumah menengok berbagai jenis tanaman miliknya tengah bermekaran.

"Tuan, bisakah Anda duduk diam saja? Luka Anda masih basah,"ucapku menghela nafas lelah.

"Saya cuma mengganti paku yang sudah usang saja, Nona,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih palu di tangannya.

Lagipula apa dirinya tidak berpikir luka di tubuhnya bukannya bisa segera sembuh dengan banyak pergerakan. Aku tahu, kegiatan bertanam adalah salah satu caranya mengisi waktu luang. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat.

"Biar saya saja, Nona. Lanjutkan kegiatanmu,"ucap Dirga tampak cemas mengulurkan tangannya.

Memangnya dia pikir aku tidak bisa melakukan kegiatan sepele seperti ini. Semua orang juga tahu prinsip memaku hanya memukul palu dengan sekuat tenaga pada kepala paku. Apa dia pikir aku selemah tahu sampai tidak bisa melakukan kegiatan yang sangat sepele?

Ctak

"Aduh duh,"ucapku mengibaskan jemari yang tak sengaja terpukul palu.

Baru saja menggerutu ria langsung kena karma. Sontak Dirga segera menarik jemari ku yang sedikit memerah bekas terkena palu membuatnya menghela nafas sabar mengulurkan tangan meminta palu.

"Pukul dengan perlahan saja. Tidak perlu menggunakan emosi. Saya bosan kalau hanya berbaring saja dan sudah lama tidak pernah merawat tanaman ini lagi, Nona,"ucap Dirga mengambil beberapa poly bag.

Pria itu duduk di antara beberapa tanaman dan pot yang masih kosong. Sepertinya dirinya akan memindahkan seluruh tanamannya ke dalam pot. Mataku melirik pupuk kandang di sisi lain. Sontak membuatku berinisiatif memindahkan lebih dekat sembari membantunya lekas selesai.

"Nona, biar saya saja yang angkat,"ucap Dirga.

Cih.

Memangnya kenapa kalau aku yang mengambil pupuk kandang? Aku bukannya gadis yang sangat manja dan mual ketika mencium aroma pupuk. Lagipula dengan berat sekitar 5 kg bukanlah hal sulit untuk ku lakukan.

Sreg

"Eh?"ucapku kaget melihat cukup banyak pupuk berserakan yang tercecer.

"Sudah, nggak papa. Duduk saja, biar saya yang bereskan,"ucap Dirga membawa sekop membersihkan pupuk.

Kali ini aku hanya diam saja. Baju putih yang ku pakai menjadi bewarna kecoklatan karena terkena pupuk. Dirga kembali dengan membawa beberapa pot baru membuatku menghela nafas lelah.

"Tuan, tanah itu kotor. Nanti lukamu terinfeksi bakteri,"ucapku.

Pria itu hanya tersenyum sembari melanjutkan kegiatan memasukkan campuran tanah dan pupuk ke dalam pot. Dirinya lebih memilih tanaman dibandingkan dengan mengindahkan kalimat ku.

"Apa maksud senyuman itu, Tuan?"tanyaku menaikkan sebelah alis ku.

"Bukannya saya mau mandi dengan tanah, Nona. Tidak perlu cemas,"ucap Dirga membuatku turut mendudukkan diri mengambil salah satu poly bag.

Sejujurnya kegiatan bertanam adalah hal yang cukup membosankan bagiku. Tanaman itu layaknya manusia yang perlu dirawat dan di asuh. Sedangkan diriku cukup sibuk untuk meluangkan waktu seperti Dirga. Akh, tidak. Dia lebih sibuk karena menanggung beban sebuah skuadron.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang