Bab 55 : Pilihan

59 6 4
                                    

Denting jam dinding ku sudah menunjukkan memasuki pertengahan malam. Selepas perbincangan hangat seperti biasa, aku merasa semakin ingin mempertahankan janin di rahim ku. Lagipula aku pun tidak punya alasan untuk menggugurkan bayi tidak bersalah itu. Seharusnya aku berpikir dahulu setiap bertindak dan semuanya kini sudah terjadi.

Tidak ada yang perlu disesali.

Aku tidak hamil diluar pernikahan dan suami ku bukanlah suami orang lain. Tetapi didikan terhadap janin ku harus dimulai sejak dirinya masih dalam kandungan. Memikirkan itu kembali menimbulkan rasa kasihan dan enggan mengandung. Aku berada dalam rasa yang dipenuhi dilema. Perasaan baru ada sebuah janin yang tumbuh masih menimbulkan kekhawatiran tersendiri.

Bahaya paparan bahan kimia yang mengancam janin ku selama masih bekerja di Pupuk Anumerta menjadi polemik baru. Aku tidak punya pilihan lagi selain harus menerima tawaran Ardhito berpindah ke Pupuk Indonesia. Sekalipun beban pekerjaan ku semakin besar, aku pikir inilah saatnya pulang bersama suami. Mengandung dan melahirkan bukanlah pekerjaan tunggal.

Jika aku melakukannya sendiri hanya membuat pikiran ku semakin kacau dan menjadi gila saja. Baru mendengar kabar kehamilan saja sudah cukup membuat ku terguncang. Apalagi setelah melihat perut ku terus membesar hingga harus bertaruh nyawa. Mungkin aku akan semakin merasa iba pada diriku sendiri. Apa perasaan ini hanya tumbuh pada diriku saja?

Aku tidak bisa berhenti memikirkan ketika anak ini lahir ketidakmampuan verbal dan pengetahuan ku dalam menanganinya akan menjadi sumber masalah lain. Mendidik dengan sabar dari dia masih bayi yang hanya bisa menangis 24/7 sampai menjadi anak kecil menyebalkan tidak bisa berhenti melakukan hal aneh. Kepala ku berdenyut hanya dengan memikirkan hal aneh sebanyak itu.

Bagaimana cara ku membagi waktu antara bekerja dan berumah tangga menjadi seorang Ibu? Aku berpikir ingin mendidik anak itu dengan tangan ku sendiri. Tetapi di sisi lain, aku pun bingung membagi waktu dengan baik. Aku tidak mau anak ku tumbuh tanpa kasih sayang yang cukup untuk kedua orang tuanya. Sedangkan Ardhito setelah melihat email ku sore ini dirinya begitu bahagia dan terus mengatakan pekerjaan di Pupuk Indonesia tidak akan rumit.

Mana mungkin?

Bisa jadi. Aku bisa lebih santai saat mengajukan diri menjadi staf saja bukan mengikuti permintaannya mengisi bagian kepala departemen. Melahirkan dan membesarkan anak bagiku adalah tugas personal mengingat aku cukup perfeksionis dalam mendidiknya. Termasuk Rania pun aku selalu membuatnya memiliki motivasi dan jiwa belajar tinggi.

Dering telfon yang berbunyi nyaring sontak membuat lamunan ku tersentak segera menggeser tombol hijau. Siapa lagi yang akan menghubungi ku sepanjang waktu kalau bukan suami tercinta? Dirinya terdengar belum tidur dari suaranya yang masih begitu jernih. Entah apa yang menjadi kegundahan hatinya saat ini hingga tidak bisa tidur.

"Kenapa kamu belum tidur, Dek?".

"Aku hanya memikirkan beberapa hal dan kesulitan untuk tidur. Ada apa denganmu? Apa ada pekerjaan yang terasa berat bagimu?"tanyaku mematikan lampu menaruh ponsel di atas nakas.

"Begitulah. Seharusnya beberapa spare part sudah datang hari ini. Semua pekerjaan menjadi tertunda dan harus mengejar waktu karena keterlambatan. Apa kabar dengan boiler mu?".

"Berarti seharusnya sebelum membeli perlu membuat tanda tangan persetujuan dan beberapa resiko saat tiba terlambat, Mas. Boiler nya selalu baik-baik saja. Lagipula itu bukan bidang ku sama sekali. Masalah ku sebatas kendala progres riset beberapa anggota dan keadaan lapangan saja,"ucapku.

"Syukurlah. Sekarang aku sudah tenang setelah bercerita. Tidurlah, Dek. Aku akan menyanyikan suatu lagu,"ucap Dirga.

Sontak aku segera mengambil ponsel mendekatkan pada bagian perut. Membiarkan ketenangan itu juga dirasakan janin yang mendiami rahim ku. Perlahan ku pejamkan mataku mendengar suara merdunya. Satu hal yang ingin selalu ku lakukan saat berada di dekat Dirga adalah tidur di sampingnya setelah mendengar suara merdunya itu.

Renjana : Arutala Dirgantara Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt