Bab 48 : Titik Balik

82 8 0
                                    

Berbagai catatan kemajuan produk tidak bisa berhenti begitu saja di departemen ini. Bahkan Celine sampai mengikat rambutnya asal pertanda dirinya mulai lelah. Demi mengejar cuti selama dua hari, aku memaksa diri melewati malam di rumah dinas untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal yang ku kerjakan selama seminggu dipangkas menjadi beberapa semalam.

Mataku mencoba tetap kuat menyelesaikan draf terakhir rekomendasi produk. Aku sudah tidak bisa banyak berkata-kata mengenai tulang punggung yang mulai kram semenjak beberapa waktu terus berdiri.

"Pak Dirga tahu tentang ini, Bu?"tanya Celine membuatku menaruh telunjuk di atas bibir.

"Dia sudah terlalu banyak pekerjaan sebagai komandan untuk skuadron. Sekarang saatnya aku menunaikan tugas sebagai Ibu, Celine,"ucapku.

"Benar, Bu. Masalah ini harus segera mendapatkan titik temu. Oiya, Pak Dhito tampaknya merasa kaget setelah mendapatkan email beruntun,"ucap Celine membuatku terkekeh geli.

Kisah percintaan ku dengannya sudah kandas sejak perbedaan latar belakang. Saat ini hanya ada seorang teman dan atasan saja. Pria itu tahu dengan baik batasan untuk menjaga perasaan pria lain yang telah menjadi suami ku.

"Tiket yang saya pesan untuk besok di jam setengah sepuluh, Bu,"ucap Celine membuatku mengangguk pelan.

"Hah. Akhirnya kerja lembur kita selesai juga, Celine. Terima kasih untuk semua bantuannya,"ucapku.

"Itu sudah menjadi tugas saya, Bu. Selama Anda pergi, siapa yang akan menjaga Rania?"tanya Celine meluruskan pinggangnya.

"Azhara akan ke sini besok pagi. Oiya, selama saya cuti, minta Altezza mengajari pola presentasi harian di beberapa meeting,"ucapku menyesap teh yang sudah dingin.

Gadis itu mengangguk mengerti segera merapikan laptop dan penampilannya. Aku masih bertanya-tanya alasan gadis ini selalu menolak ku ajak tinggal di rumah dinas setiap usai menghabiskan lembur. Kalau dirinya pulang di tengah malam malah jauh lebih berbahaya. Dia selalu memberikan alasan dengan segala jenis norma kesopanan.

"Kamu tidak mau berganti pakaian dulu? Khawatir pacar tersayangmu akan muntah kalau mencium aroma keringat,"ucapku.

"Pacar saya pakai masker, Bu,"ucap Celine membuatku terkekeh pelan.

Sejenak tangan ku melambai menatap kepergiannya di malam yang telah larut. Di saat melihatnya seperti ini membuatku ingin mendoakan lekas menikah. Namun saat melihat jiwanya masih merindukan dunia masa kecil membuatku ingin berdoa semoga menunda pernikahan. Sekretaris unik ku itu memang tidak bisa di duga.

Belum saja beranjak, sebuah mobil kembali memasuki garasi disertai dengan gelak tawa membuatku membuang muka jengah. Apa dia merasa menjadi manusia setengah jin? Dengan rambut anti badainya menarik koper seraya berjalan penuh kharisma. Aku hanya mengatakan jalan bukan caranya tertawa yang begitu mirip kuntilanak itu.

"Kamu sudah menanti ku datang, ya,"ucap Azhara membuatku membuang wajah malas.

"Oh, bukan. Tadi baru saja mengantar Celine, khawatir dia bertemu dedemit diluar. Eh, dedemitnya malah ke sini,"ucapku membuatnya semakin tergelak.

"Kamu memang tidak bisa melihat kecantikan bidadari, Git. Rania sudah tidur?"tanya Azhara membuatku mengangguk pelan.

Perempuan itu lantas merebahkan tubuhnya sembari membuka ponsel membuatku menggeleng pelan. Pasti dirinya mau memberitahu suami tersayangnya. Perlahan ku rebahkan tubub melepaskan penat setelah mengejar target.

"Kamu masih berkelahi dengan Pak Dirga?"tanya Azhara membuatku mengangguk pelan.

"Aku harus mengurus masalah Rania dulu. Setelah itu memperbaiki hubungan ku,"ucapku.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now