Bab 29 : Ning Anggi

185 18 0
                                    

Usapan lembut di kepala membuatku membuka mata perlahan. Menampilkan Dirga sudah berada di depan mata. Pria itu masih mengenakan seragam yang sama membawa sepiring bubur dan air. Hanya saja, sekarang ada beberapa butir obat sebagai tambahan.

"Ayo makan siang dulu,"ucap Dirga membuatku menghela nafas panjang.

"Aku tidak pernah makan siang,"ucapku jujur kembali menutup mata.

"Git, jangan membuatku memaksa makan seperti tadi pagi,"ucap Dirga.

"Kamu tidak perlu melakukannya, Dirga. Bukankah kita hanya dua orang asing,"ucapku.

Sontak pria itu menurunkan pembatas ranjang memaksa diriku untuk duduk. Meskipun dia memaksa, pria itu masih melakukannya dengan hati-hati. Dia hanya diam tanpa bersuara membuatku mengikuti diamnya.

"Kamu sudah makan siang?"tanyaku sebelum dirinya menyuapkan bubur.

"Aku akan makan nanti,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih sendok menyuapkan padanya.

"Kalau kamu makan, aku juga makan. Aku tidak pernah makan siang dan aku tidak mau membuat orang lain terkena GERD karena meninggalkannya,"ucapku membuatnya membuka mulutnya menerima suapan dari ku.

Kita berdua sama-sama manusia yang punya ego dan keras kepala masing-masing. Bahkan bibir ku tidak bisa membuka mulut terlebih dulu. Dia hanya diam dan mengurus ku tanpa pernah berkomentar saat aku mulai kesal.

"Apa aku juga tidak boleh kemana-mana setelah beberapa hari karena dalam pengamanan?"tanyaku menurunkan ego.

"Kamu mau kemana?"tanya Dirga mengusap bekas bubur yang mengenai wajah.

"Aku ingin menghirup udara segar, itu saja. Di dalam sini sepanjang hari membosankan,"ucapku membuatnya tampak berpikir.

"Lusa saja. Saat itu sepertinya kamu sudah bisa bergerak lebih bebas dari hari ini. Nanti aku meminta Aditya dan Sertu Sinta menemani,"ucap Dirga membuatku menghela nafas panjang.

"Harus bersama mereka?"tanyaku membuatnya menaikkan sebelah alisnya.

"Daripada bersama semua polisi ataupun intelijen di luar sana. Mereka belum tentu ramah denganmu. Bisa saja mereka mengganggumu. Mereka semua masih muda,"ucap Dirga membuatku mengerutkan kening heran.

Bibir ku tertarik tersenyum geli menatapnya. Ku ambil tisu mengusap bibirnya yang belepotan terkena sisa bubur. Namun seolah tidak ingin aku yang melakukan, dirinya mengambilnya dan mengusapnya sendiri.

"Apa aku harus merasa bangga? Apa bedanya jika kau dan mereka yang menjaga? Memangnya kenapa kalau masih muda?"tanyaku.

"Mereka masih belum punya pikiran yang stabil. Bisa saja mereka menggodamu. Tingkah rendahan itu seharusnya tidak perlu dilakukan,"ucap Dirga.

"Are you jealous, man?"tanyaku menatapnya.

Seolah tertangkap basah, pipinya memerah seperti kepiting rebus menegak habis air putih. Ternyata dia sangat mudah untuk di goda daripada yang ku duga. Yah, aku mendapatkan mainan baru selama menyembuhkan diri.

"Entah seperti apa pola pikirmu? Aku mengatakan itu dengan benar dan kamu menganggap itu sebagai cemburu,"ucap Dirga.

"Yah baiklah. Katakan kalau itu benar, tapi kamu baru saja mencium ku secara tidak langsung,"ucapku melirik gelas yang dia pakai minum.

"Kamu,"panggil Dirga malah menunjuk wajahku.

"Hei, Tuan. Kamu bahkan menghabiskan air minum ku. Sekarang bagaimana aku minum obat?"tanyaku.

Bukannya merasa bersalah, pria itu malah mendekatkan wajahnya. Sontak membuatku menunduk berusaha memalingkan wajah. Namun hembusan nafas pria itu sudah terasa di wajahku.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang