Bab 42 : Profesional

124 11 2
                                    

Suasana senja yang terpancar jelas dari celah korden. Sama seperti botol air minum yang menyisakan seperempat isinya. Sudah 3 jam berlalu sejak usai dengan pekerjaan. Akh, tidak. 3 jam kemudian juga termasuk pekerjaan yang belum kunjung usai.

"Saya pikir hanya itu saja yang perlu di koreksi dari departemen laboratorium. Dengan perubahan struktural rasanya agak aneh kalau mengatakan laboratorium menjadi sebuah departemen,"ucapku mematikan tablet.

Berbagai kertas kerja terlalu berserakan di atas meja. Beruntung Celine cukup cekatan merapikan kekacauan. Tidak butuh waktu lama baginya menyusun semua file sesuai pada tempatnya untuk memudahkan ku mencari. Dhito tersenyum kecil membuatku menatapnya heran.

"Apa ada yang salah?"tanyaku penasaran.

"Tidak. Pemegang saham banyak yang merekomendasikanmu untuk mengambil tempat pada posisi direktur riset. Pasti riset di perusahaan akan semakin meningkat,"ucap Dhito.

"Saya tidak akan mampu membawa bagian sebesar bagian riset. Lagipula selama ini saya hanya menguasai bidang laboratorium bukannya penelitian. Tentu banyak dari bagian riset yang lebih pantas,"ucapku.

Sejujurnya aku tidak siap jika diberi tanggung jawab baru lagi. Cukup menjadi ketua bagi ibu-ibu berbaju biru setiap minggu. Selain itu, aku akan kehilangan banyak waktu bersama keluarga kecil ku. Mereka memerlukan kehadiran ku dalam beberapa kesempatan. Termasuk seorang pria yang senantiasa menghiasi panggilan masa istirahat ku.

"Benar begitu? Bukan karena sudah menikah?"tanya Dhito membuatku mendongak.

"Pernikahan tak ayal hanyalah urusan pribadi yang tidak bersangkutan dengan pekerjaan, Pak,"ucapku.

"Apa kamu terus berpisah jarak selama 5 hari dalam seminggu sejak menikah?"tanya Dhito membuatku berdehem pelan.

"Saya pikir itu hal pribadi. Saat ini hari telah senja dan membicarakan hal pribadi tentu akan lebih banyak membuang waktu. Jika Anda berkenan, saya akan menjawab di luar kantor,"ucapku.

Pria itu tampak mengangguk mengerti dengan prinsip ku. Aku memang terbiasa memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan. Bagi ku, keluarga ku adalah orang asing saat bekerja dan satu sama lain hanyalah rekan.

"Hal tersebut berkaitan dengan pekerjaan. Karena jika berkaitan dengan hal pribadi akan lebih besar masalah yang ingin saya tanyakan langsung pada Anda,"ucap Dhito membuatku mengurungkan niat beranjak.

"Sejak menikah, begitulah saya hidup terpisah jarak dengan suami. Apa jawaban itu cukup menjawab pertanyaan Anda?"tanyaku.

Merasa suasana mulai kurang kondusif, Celine memilih beranjak terlebih dahulu menunggu di luar ruangan. Sedari tadi aku menangkap ada kalimat yang mengganjal dari setiap kata yang dilontarkan Dhito. Apa yang sebenarnya dirinya coba untuk ungkap dengan menanyakan semua hal tentang diri ku?

"Saya tahu kamu sekarang sudah menikah dan ya saya pun akan berada tetap di batas. Saya juga laki-laki sama seperti suami Anda. Tapi satu hal yang perlu Anda tahu, bukan hanya Anda yang bisa menolak saat dipaksa,"ucap Dhito membuatku mengerutkan kening heran.

"Apa yang sedang Anda bicarakan?"tanyaku tidak mengerti dengan pokok bahasannya.

Pria itu terlihat melonggarkan dasinya sembari membuang pandangan ke beberapa arah. Wajahnya yang memerah menunjukkan dengan jelas dirinya tengah meredam amarah. Kesalahan apa yang sudah ku lakukan padanya? Apa kalimat ku saat berbincang sedari tadi ada yang menyakitinya?

"Apa tujuanmu membebaskan Nova?"tanya Dhito membuatku mengerti.

Di tempat ini, semut pun tidak akan luput dari pengawasannya. Tentu dirinya sempat melihat gadis itu meninggalkan departemen laboratorium. Lantas apa salahnya dengan cara ku membebaskan Nova? Bukannya Nova lantas segera menyiapkan pernikahan atau kembali mendekati dirinya. Sejauh ini gadis itu bahkan harus meredam rasa ingin bertemunya demi tetap tersembunyi dari publik.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now