Bab 49 : Batal

124 14 1
                                    

Suasana malam di kota Jakarta tidak pernah usai dari keramaian seperti ramainya jalanan yang terlihat dari balik tebalnya kaca kamar hotel. Masalah Rania akan selesai sebentar lagi tanpa perlu membawa nama Dirga. Aku dengan diriku sendiri pun bisa menyelesaikan masalah tidak peduli latar belakang para perempuan itu.

Perlahan ku langkahkan kaki melewati koridor hotel berjalan menuju lift. Rasanya benakku sudah tidak lagi bisa bersabar mendengar kalimat pembelaan dengan sedikit tekanan dan kedua alis menukik. Telinga ku mungkin akan sedikit pengar setelah ini.

Ting

Baru saja lift terbuka menampilkan wajah seorang pria yang sangat familiar bagi ku. Bibir ku terkatup erat tidak bisa berkata-kata melihat tatapan datar tanpa berusaha beranjak dari lift.

"Mas Dirga,"ucapku kaget bukan kepalang.

Tanpa perlu menjawab, Dirga meraih kartu di tangan ku seraya menarik paksa menjauh dari lift. Pria itu menarik ku memasuki salah satu kamar hotel. Baru saja aku ingin mendengar kesaksian para perempuan itu, Dirga malah menyeret ku masuk ke dalam kamar hotel. Pria itu hanya diam menatapku lekat.

"Kenapa menarikku ke sini, Mas? Sedikit lagi masalah Rania usai,"ucapku memaksa membuka pintu.

Pria itu hanya diam tidak bergeming memegang kartu kamar tanpa ingin membiarkan ku keluar. Wajahnya menjadi begitu dingin tidak membuatku lantas diam. Kepala ku sudah dipenuhi dengan perasaan kesal yang memenuhi benak.

"Usai? Rania tidak pernah memiliki masalah terhadap masa lalu Ibunya,"ucap Dirga membuatku menatapnya penuh amarah.

"Itu yang tidak kamu ketahui tentang Rania, Mas. Kamu hanya sibuk melindungi dan mengekang Rania. Kamu terus menyalahkan Rania tanpa tahu betapa sakitnya mendengar rintihan malamnya merindukan Ibunya yang dia anggap telah tiada. Kamu tidak tahu betapa sakitnya hatinya dianggap anak haram oleh semua orang di sekelilingnya. Aku Ibunya, Mas,"ucapku.

Dirga hanya diam membiarkan amarah ku terus meletup-letup tanpa henti. Pria itu tidak ingin menyela barang sedikitpun memilih tetap tenang. Kalimat ku yang begitu tinggi sesekali membuatnya berjengit kaget. Namun tidak membuatnya memberikan kartu di tangannya.

"Saya Ayahnya, Dek. Meskipun saya bukan Ayah kandungnya. Kita tidak bisa membuat orang lain untuk diam. Satu-satunya cara membuatnya aman dengan mendidik mentalnya. Saya sudah sudah bersamanya sejak dia lahir,"ucap Dirga dengan nada dingin tanpa nada tinggi membuatku terdiam.

"Semua itu tidak benar, Mas. Rania masih hidup dalam bayang-bayang itu. Dia selalu merasa dirinya tidak pantas,"ucapku.

"Saya bisa mendidiknya, Dek. Tetapi tidak dengan pertemuan yang akan kamu lakukan malam ini. Para perempuan itu istri pejabat militer kalau kamu lupa. Bukan seperti ini caranya membalas, Dek,"ucap Dirga membuatku tersengih.

"Memangnya apa bedanya, Mas? Apapun dia tidak bisa menghina orang lain seenaknya,"ucapku.

Pria itu lantas mencium ku dengan mengeratkan rengkuhan pinggang begitu erat. Berulang kali ku coba menjauh namun kalah telak dengan tenaganya. Tangan ku masih berusaha meraih kartunya meskipun sia-sia.

"Cukup, Mas. Aku melakukan ini dengan namaku sendiri,"ucapku semakin terbawa emosi.

"Kamu sudah menjadi bagian dariku, Dek. Saya tidak menyalahkan usahamu membalas dendam. Tetapi saya juga membenarkan caramu seperti ini. Kamu adalah panutan dan bertindaklah dengan benar sebagaimana menyelesaikan masalah antar keluarga,"ucap Dirga menatapku dingin.

Selama menikah, aku belum pernah melihat tatapan dingin itu sama sekali. Bahkan terasa begitu menusuk membuatku sedikit sesenggukan. Sebagai seorang perempuan aku takut dengan tatapannya. Namun perasaan marah yang tengah membuncah seolah mewarnai kepala ku menghasut diri terus memberontak.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now