Bab 19 : Rumah Singgah

160 16 0
                                    

Kepulan asap panas secangkir kopi masih bertahan menghantarkan sekitar. Hanya tersisa diriku sendiri di ruang makan menyusun agenda rencana yang akan ku lakukan disini.

"Sendirian mulu, Git,"ucap Altezza menaruh secangkir kopi panasnya di depan ku.

"Ya, aku harus seperti apa,"ucapku tanpa menatapnya.

Pria itu terdengar menghela nafas panjang sebelum akhirnya menambahkan satu sendok teh gula pada kopi milikku. Sontak membuatku mendongak.

"Nah, gitu dong. Masa orang ngomong di kacangin mulu,"ucap Altezza.

"Apa ada hal yang penting?"tanyaku membuatnya mengangguk pelan.

"Tidak ada. Kenapa dengan wajahmu yang begitu banyak masalah itu?"tanya Altezza membuatku menghela nafas panjang.

"Aku tengah merenung sambil mengerjakan pekerjaan. Beberapa hari lalu, baru saja tangan ku gemetar menggendong Fatimah yang terbujur kaku. Tadi sore Rania menghubungi ku karena perlengkapannya habis. Entah mengapa aku jadi kehilangan kendali untuk membiarkannya?

Aku selalu teringat Fatimah jika berkaitan dengan anak kecil. Terlebih perempuan. Apa aku perlu menemui psikiater?"tanyaku menghela nafas panjang.

Mengapa permasalahan yang biasanya ku selesaikan dengan mudah menjadi hal berat seperti ini? Kegelisahan yang tidak pernah ku miliki sekarang menyelinap begitu saja. Apa hatiku saat ini menjadi rapuh hanya karena Fatimah?

"Bukan psikiater kalau itu, mah. Butuhnya pundak suami untuk bersandar,"ucap Altezza terkekeh pelan.

"Heuh, malah bercanda. Kamu saja belum berkeluarga, malah berceramah,"ucapku.

"Tapi aku sedang serius sebenarnya, Git. Mau kamu benci seperti apapun, kelak di perutmu itu juga akan ada anak kecil,"ucap Altezza membuatku memutar bola mata malas.

"Hei. Ikuti dulu langkah-langkahnya. Ada calon, menikah baru punya anak,"ucapku.

"Baiklah. Melihatmu mengomel sepertinya kamu baik-baik saja. Jangan rapuh hanya karena berhadapan dengan kematian, Git. Kalau kamu meratap dengan satu kematian, apa yang kamu lakukan dengan kematian yang lain? Memang kita harus bersiap mati, tapi meratap juga tindakan yang tidak tepat.

Dan manusia tidak ada yang sempurna dan akan berakhir dengan kematian. Lalu, apa yang akan kamu lakukan dengan kematian semua orang? Jangan terlalu rapuh dan mencintai sesuatu berlebihan. Kecuali kalau kamu berniat mencintai pria tampan seperti ku,"ucap Altezza.

Dasar pria gila. Aku sudah mendengarkan dengan seksama seraya berpikir betapa terbuka pikirannya. Malah menjadi sasaran empuk tingkah jahilnya. Dibandingkan dengan mendengarkan ocehan tidak bergunanya akan lebih baik kalau aku tidur saja. Terlebih malam juga sudah bertahta.

"Aku punya nomornya Dirga kalau kamu nggak tega anaknya kehabisan perlengkapan disana,"ucap Altezza menahan langkah ku.

"Hubungi dia dan beritahu. Aku tidak mau berhubungan dengan pria itu,"ucapku meninggalkan ruang makan.

Aku hanya menjadi lemah karena anak kecil bukan pria brengsek sepertinya. Pria bodoh yang tidak bisa menghargai perempuan sama sekali. Bagaimana bisa dia memiliki target setidaknya 2 istri? Dan wanita bodoh mana yang akan peduli dengan semua hal itu?

"Apa ada yang mengganggumu?".

Pertanyaan itu sontak membuatku mendongak mengendurkan amarah yang tiba-tiba muncul begitu saja. Tampak Dhito berpakaian santai membawa buku. Sedang apa dia berada disini dan dengan pakaian seperti itu?

"Tidak ada, Pak. Apa yang sedang Anda lakukan disini?"tanyaku heran.

"Jujur, kamu cukup mengerti seperti apa yang ku alami saat di acara pernikahan Stela, kan. Berada di asrama juga sepertinya tidak ada salahnya. Terlebih bisa menemani Pak Altezza,"tutur Dhito membuatku menghela nafas pelan.

Renjana : Arutala Dirgantara Donde viven las historias. Descúbrelo ahora