Bab 4 : Nama yang indah

315 24 0
                                    

Bunyi lift saat tiba di lantai yang ku tuju memenuhi telinga ku. Aku merasa tidak pulang terlalu malam. Namun tidak biasanya terasa sunyi di sekitar hotel. Altezza juga sudah menghilang entah kemana.

Tangan ku menggeser pelan kartu kamar hotel sebelum bergegas merebahkan tubuh ke atas ranjang. Namun semua rencana itu berakhir menjadi wacana saat melihat gadis kecil sedang tertidur pulas begitu rapi. Ayahnya mendidik gadis ini dengan keras sampai tidur pun teratur. Sayangnya dia masih terlalu lembut mengenai perasaannya.

Padahal itu lah yang sebenarnya mampu mengubah total karakter dan kebiasaan dari orang tersebut. Mataku tidak butuh waktu lama untuk kembali terpejam pulas.

"Bunda, kapan pulang? Riana rindu Bunda,"ucap gadis itu memelukku hangat dengan mata terpejam.

Akh, aku sudah mau tidur malah menjadi penasaran maksudnya. Tidak, Gita sekarang saat yang tepat untuk tidur. Lagipula gadis itu akan kembali ke pangkuan Ayahnya besok pagi, batinku enggan berpikir keras.

Tapi mana mungkin otakku bergeser untuk diam sedangkan kedamaian sudah berpindah. Tangan ku meraih tablet mempelajari slide. Hal itu terasa lebih berguna. Lagipula sepertinya Ibunya juga hanya sedang keluar kota. Benar saja jika pola pikir ku mengatakan Dirga terlalu menyayangi gadis itu.

Tetap saja mata ini sudah terlanjur terbuka enggan tertutup. Entah apa yang harus ku lakukan? Padahal seluruh tubuh ku sudah terasa remuk. Aku harus menyatakan semua komplain ini pada pria itu esok. Tidur malam dan perjalanan kerja ku menjadi terhambat karenanya.

"Mbak, tadi ada laki-laki berpakaian tentara datang ke hotel. Tapi karena jaminan privasi Petrokimia, berhasil dilindungi. Altezza juga belum kunjung pulang, entah kemana,"

Pesan suara Celine terdengar tenang berarti pria itu tidak sedang mengadakan perlawanan. Aku juga tidak ingin menahan gadis ini lebih lama. Besok semuanya akan usai. Hanya tinggal satu malam saja aku harus bersabar dengan semua cobaan ini.

Baru saja menggeser laman pesan, tampilan grup yang cukup ramai begitu menyudutkan saat melihat berita hangat diriku dan Dhito hari ini. Mereka hanya tau dari gambar terlihat dekat. Namun kenyataannya aku sedang berusaha menyelamatkan karier yang tengah terombang-ambing karena gadis kecil di sebelah ku.

"Ayah,"ucapnya terbangun membuatku menoleh heran.

"Hah, kamu terlalu berisik. Bahkan orang dari lantai satu juga bisa mendengarnya,"ucapku sebal.

"Er, maaf Tante. Aku hanya senang bertemu Ayah,"ucapnya mengaku membuatku menatapnya lekat.

"Dengar, gadis kecil. Aku sangat tidak suka anak kecil. Jadi, untuk apa aku menahanmu? Besok Ayahmu sudah membuat janji padaku bertemu jam 7 di lobi hotel. Jam setengah 7 pagi kita akan kesana menunggu Ayahmu,"ucapku membuatnya tersenyum lebar.

"Tante, gantungan koper Tante bagus. Tante dapat darimana?"tanya Rania membuatku melirik beberapa gantungan yang dia maksud.

Bukannya hobi mengoleksi, hanya saja itu pemberian dari beberapa rekan saat perjalanan keluar kota dan negara. Menerimanya bukan masalah besar dan sepertinya terdengar baik.

"Temen,"ucapku melihat matanya sangat tertarik melihat gantungan bercahaya pupuk Anumerta.

"Ambil ini. Aku bisa mendapatkan lagi saat kembali,"ucapku memberikannya.

"Wah, makasih Tante,"ucap Rania malah semakin membuat kantuk ku menguap entah kemana.

Seragam hitam Anumerta tergantung rapi sepertinya baru saja disiapkan Celine. Karena seingat ku, belum menyiapkan pakaian apapun. Padahal sudah ku bilang tidak perlu repot untuk keperluan pribadi ku. Hijab abu muda akan terlihat cocok sesuai dengan salah satu warna logo Pupuk Anumerta.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now