Bab 31 : Kandas

169 17 0
                                    

Gita POV

Ruangan rawat inap ku seolah meja persidangan. Ibu benar-benar marah dan kecewa padaku. Tapi memang semuanya hanya salah paham. Aku sering berbincang hanya berdua bersama rekan kerja ku. Bahkan Altezza sendiri sering ku bawa pulang. Mereka tidak memberikan protes.

"Apa Altezza yang mengatakan pada Ibu?"tanyaku menerka.

"Apa pentingnya itu, Nak? Kami kesini untuk membuat kejutan. Tapi malah melihat pemandangan seperti itu. Dengar, ada sebuah lamaran baik yang datang pada Ibu. Awalnya Ibu berpikir untuk menolak, tapi tidak ada salahnya bertanya padamu. Terlebih setelah apa yang Ibu lihat hari ini,"ucap Ibu.

Cih, siapa yang melamar ku lewat orang tua tanpa mengabarkan dulu? Entah apa yang membuat keduanya melepas permintaan untuk menolak semua pria. Bukannya sombong, aku tidak mau ada pernikahan paksaan. Hidup ku sudah keras sejak keluar dari masa SMA.

"Aku tidak akan menerimanya, Bu,"ucapku final.

"Dan terus berduaan seperti tadi bersama Ayahnya Ina?"tanya Ibu membungkam serta mulutku.

Perempuan itu benar-benar murka kali ini. Bahkan dia tidak lagi sudi menatapku. Tapi menerima pernikahan tanpa asal-usul bukanlah hal yang benar.

"Ibu tahu kamu menyukainya. Tapi apa kamu mau menghancurkan harga diri keluarga disini, Nak? Lagipula, apa kamu yakin Ibunya Rania mau kamu menjadi ibu sambungnya? Kalau Dirga benar-benar serius dia akan menghubungi Ibu. Bukan malah berduaan seperti tadi.

Entah bagaimanapun caranya, dia bisa mendapatkan informasi tentang kami. Tetapi apa dia melakukannya? Kamu sudah melewati batas kali ini, Nak. Sekarang kamu sudah besar, Nak. Apa membedakan hal kecil seperti itu sulit?"tanya Ibu tanpa sadar melukai hati kecilnya.

Semua perkataan yang dikatakan benar adanya. Dirga saja selalu bungkam setiap di ajak berbicara serius. Tapi menikah dengan orang yang tidak dikenal bukan juga hal yang benar. Aku tidak akan mengulangi kisah perjodohan Dirga yang kandas. Tapi berdebat dengan Ibu juga bukan tindakan benar.

"Apa aku boleh bekerja setelah menikah? Jika aku boleh bekerja aku akan menikah,"ucapku dengan penuh kekecewaan.

"Kamu boleh melakukan apapun setelah menikah,"ucap Ibu membuatku mengambil salah satu draf dalam tas yang dibawakan Dirga.

Aku pernah membuat surat pernyataan konyol itu. Tapi semua itu untuk mengantisipasi aku diminta menikah seperti ini. Segera ku tempel materai sepuluh ribu membuat perjanjian dengan Ibu.

"Tanda tangani disini, Bu. Biar ketika menikah, aku dilarang bekerja bisa ku jadikan tuntutan. Besok aku akan menjalani pemeriksaan dari Polri. Lusa aku akan pulang. Buat pernikahan yang cepat dan sederhana,"ucapku mengambil catatan kecil.

Aku keras kepala dan tidak ada yang menyangkal itu. Aku tidak pernah menuntut apapun selama ini. Namun hanya dengan satu tindakan semua hal itu menjadi sia-sia. Bak nila setitik rusak susu sebelangga. Jika aku tidak bisa hidup dengan pria yang ku cintai, setidaknya bisa menghormatinya.

Jika menghargainya hanya 2 jam dan 3 jam sehari akan lebih mudah ku lakukan. Seluruh waktunya akan ku pakai untuk bekerja lembur di kantor. Bukannya aku main-main dengan hubungan pernikahan. Tapi menikah juga bukan hal yang bisa dipaksakan.

"Pernikahan ini mungkin kamu anggap sepele. Tapi pria yang baik akan membawa iman dan taqwa di hatinya,"ucap Ibu usai mengambil tanda tangan.

"Aku tidak menganggapnya sepele. Aku hanya tidak mau di cap anak durhaka,"ucapku.

"Kenapa kamu keras kepala, Nak? Memangnya apa yang menjamin kebahagiaan dengan pria itu?"tanya Ibu membuatku tertawa kecil sebelum hanya diam saja.

Berbeda dengan kedua saudari ku, aku dibesarkan agar bisa tulang punggung bagi keduanya. Jika mereka berdua menikmati masa sekolah dari beasiswa yang ku raih maka berbeda dengan ku. Sepanjang masa sekolah aku harus terus belajar untuk mempertahankan nilai. Usai sekolah, bahkan daftar kuliah pun harus bekerja keras mendapatkan beasiswa.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now