Bab 41 : Perihal GERD

150 14 0
                                    

Riuh seluruh penjuru lantai departemen Laboratorium begitu menggema. Aku tahu pasti ini ide konyol Celine membuat acara penyambutan seolah aku baru saja kembali dari berjuang saja. Sudah lama aku tidak lagi menginjakkan kaki di departemen ini membuatku merasa riskan.

"Selamat datang, Bu Anggita. Kami sekarang sudah bisa memanggil Anda begitu, bukan,"ucap Celine memakaikan karangan bunga di iringi tepuk tangan meriah.

"Hei. Apa kamu pikir aku mau mati dengan memberi karangan bunga? Yang benar saja kalian ini. Lebih baik kalian kembali pada pekerjaan masing-masing,"ucapku disiplin seperti biasa.

Sontak kalimat ku membuat seluruh karyawan dan karyawati yang tadinya begitu antusias mendadak pucat. Ada raut takut dan segan yang tiba-tiba timbul di wajah mereka. Terlebih Celine sampai menelan ludah kasar tidak bisa banyak berkata-kata.

"Ada yang salah dari kalimat saya? Saya sekarang tetap General Manager Departemen Laboratorium. Jadi, jangan coba berpikir saya akan bersikap lunak. Sebagai gantinya usaha kalian pagi ini, saya mengganti dengan makan siang gratis. Itu juga kalau kalian mau,"ucapku berkacak pinggang.

"Mau, Bu".

Suara saling berdesakan meninggalkan lorong membuatku tersenyum kecil. Bagi ku menegakkan disiplin itu segalanya. Tetapi aku bukannya perempuan yang bengis. Melihat usahanya yang begitu besar untuk menghias lorong departemen sedemikian rupa pasti membuang banyak tenaga.

"Kamu masih tetap keras rupanya".

Sontak kalimat itu membuatku mendongak menatap sebuah sepatu mengkilap dengan setelan jas rapi. Aku menunduk sejenak memberikan hormat begitu melihatnya. Wajahnya tidak banyak berubah seperti terakhir kali aku bertemu.

"Disiplin bagi setiap karyawan departemen Laboratorium itu harga mati, Pak. Anda tidak bisa menyepelekan hal itu,"ucapku.

Akh, begini rasanya bertemu dengan pria yang pernah dekat. Sebagai seseorang yang tidak pernah serius menjalin hubungan, perasaan ini terasa aneh dan tidak nyaman. Pria itu menyerahkan sebuah papan nama membuatku meliriknya sejenak.

"Kamu sudah berganti gelar saat ini. Tentu seharusnya papan nama dan ID pengenal mu juga berbeda,"ucap Dhito membuatku tersenyum kecil.

"Itu hanya perubahan kecil. Terima kasih perhatiannya, Pak,"ucapku.

"Bukan apa-apa. Nanti sore saya perlu membahas beberapa hal terkait pengembangan departemen laboratorium. Apa kamu bisa datang?"tanya Dhito membuatku mengangguk pelan.

"Tentu. Saya akan datang jika memang pengembangan itu akan membawa departemen laboratorium menjadi lebih baik. Terima kasih atas kunjungan Anda kemari. Jika tidak ada hal lain, saya ingin undur diri untuk memeriksa berkas di atas meja,"ucapku beranjak meninggalkan pria itu.

Sejujurnya apa yang ku lakukan bukanlah untuk menjaga hati atau sejenisnya. Aku memang tidak ingin pekerjaan ku menjadi terganggu oleh banyak hal. Profesional bagi ku adalah harga mati. Tidak peduli dengan latar belakang dan lain sebagainya.

Aku kembali ke meja yang tidak berubah tatanannya. Hanya papan nama dan potret ku bersama keluarga kecil saja yang berubah. Lihatlah, aku terlihat aneh dengan make up dan Rania yang begitu manis persis seperti Dokter Halimah. Dan tentu saja suami ku sendiri, Pak Dirga.

Disaat orang lain bermasalah dengan saudara atau keluarga tiri, ku pikir aku berbeda. Dengan kehadiran anak itu, aku sedikit terselamatkan dari pertanyaan kapan hadirnya seorang anak dari rahim ku sendiri. Sementara gadis malang itu terlalu menyayangi ku dibandingkan ibu kandung yang sengaja menghindarinya. Jadi, apa alasan ku untuk membenci dan bermasalah dengannya?

Dengan memakai jas lab, perlahan ku susuri laboratorium menengok beberapa berkas terkait departemen ini. Aku merasa sudah lama sekali tidak melakukan hal ini lagi. Rupanya berbagai peralatan disini telah di tingkatkan. Namun mata ku melirik beberapa hal yang terlihat aneh.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang