8. SEMESTA YANG DIJAGA DENGAN BAIK

111K 9.9K 6K
                                    

Selamat membaca, semogaa sukaa Aamiin.

Vote itu gratis, jadiiii silahkan vote ya💘

8. SEMESTA YANG DIJAGA DENGAN BAIK

Tiangnya telah roboh sejak dulu, tapi untungnya sang manusia pandai bertahan atas runtuhnya.

**

"Na, Salsa gimana? udah ada kabar?" tanya Mama Salsa pada Nona. Ruangan putih mengelilingi mereka. Banyak alat-alat kesehatan di sana, banyak juga alat bantu untuk manusia yang sedang mendapatkan sakitnya.

Sudah dua hari alibi tentang reuni SMA di Jogja berjalan, sudah dua hari Salsa mereka tinggal sendirian di rumah tanpa tahu menahu sebuah kondisi memperihatinkan dibaliknya. Dan sudah hampir setahun hal ini terjadi berulang-ulang.

"Aman, Bu. Mbak Salsa udah pulang sekolah, baru aja udah saya chat, katanya juga udah makan," jawab Nona yang duduk menghadap brankar. Ada sendu di wajah pegawai tokohnya itu, perasaan yang setiap kali ia berinteraksi dengan Mama Salsa. Banyak rasa kasihan yang ia simpan, sedih dengan Mama Salsa, sedih juga karena sampai hari ini, Salsa jadi manusia yang tidak tahu tentang kondisi ini.

"Seperti biasa, ya?" Mama Salsa menatap Nona, serius. Meminta berkerjasama lagi.

Nona mengangguk. Tentunya ia tidak mau mengecewakan seorang ibu yang sedang berpura-pura baik-baik saja dihadapan putrinya. Seorang Ibu yang tidak ingin pikiran putrinya terganggu hanya karenanya, dan seorang ibu yang sedang menghindari sebuah kecewa yang besar karena tahu kondisinya ini akan mematahkan.

Nona mendekat ke arah Mama Salsa kemudian, "Kalau keadaan ibu, gimana? Udah mendingan?"

"Cuci darah selalu menyebalkan, ya, Na...," ungkap Mama Salsa. Tapi mata seorang ibu anak satu itu tidak pernah menampilkan jejak lemahnya. Spesialnya, meski sakitnya adalah parah, kuat tidak penah meninggalkannya.

Nona tersenyum kecut, tidak tahu harus memberi respons yang bagaimana. Ia selalu kesusahan jika diajak bicara tentang hal menyedihkan seperti ini.

"Saya khawatir nggak bisa cuci darah lagi suatu hari," ungkap Mama Salsa. Matanya menatap langit-langit ruang rawat inapnya. Kemudian datang pesimis di kepalanya.

"Khawatir nggak bisa menemani anak perempuan saya."

"Khawatir Salsa sendirian suatu hari."

"Khawatir bumi mengusir saya, tapi ia menahan Salsa seorang diri."

Mama Salsa kemudian melencengnya pikirannya ke candaan, "Khawatir brownies kukus karamel buatan saya nggak lagi bisa dinikmati sama orang-orang. Kan belum di coba tuh sama Pak Presiden."

Ruangan sepi itu, semakin mendapatkan sepinya ketika Mama Salsa menghentikan kalimatnya. Detakan jarum jam yang kini punya suara banyak menjadikan dua manusia saling bertatapan karenanya.

"Na, kok diam? Biasanya ngocehnya nggak ketulungan?" tanya Mama Salsa pada Nona, pegawai cerianya itu dikenal dengan mulut yang cerewet. Tapi setiap kali ia ajak untuk menemaninya cuci darah, pasti lebih banyak diam.

"Bu, saya nggak suka ibu yang pesimis kayak gini," kata Nona. "Bukannya kita mau sama-sama ngeliat Mbak Salsa lulus sekolah? Wisuda?"

"Pameran kue Internasional juga harus kita ikuti, Bu. Itu mimpi Ibu."

Mama Salsa tersenyum seraya memejamkan matanya, "Aamiin."

Inilah semesta yang Mama Salsa jaga, semesta dengan putri kecilnya. Tidak apa-apa misalkan ia tidak diberi kesembuhan, asal ia diberi waktu untuk bertahan, minimal ikut menyaksikan beberapa hal-hal terindah milik putrinya. Minimal diberi kesempatan untuk merasakan bahagia perolehan putrinya.

DIA BARAWhere stories live. Discover now