1. Halilintar

1.4K 134 0
                                    

Walau Halilintar itu pendiam dan acuh tak acuh―

Sekarang hari Minggu. Gempa mengajak ketujuh saudaranya berkumpul untuk bermusyawarah.

"Kalian tau apa yang harus dilakukan pada hari ini, 'kan?"

"Ya!" Kau, Taufan, Blaze, dan Thorn menjawab serempak, Halilintar hanya mendengus pasrah, Ice berusaha menahan kantuknya, sementara Solar sibuk berkutat dengan PR-nya.

Jadi, Gempa mengeluarkan gelas yang berisi delapan gulungan kertas kecil. Ia mengocoknya beberapa kali sebelum menuangkannya ke atas meja. Masing-masing dari mereka mengambil satu gulungan kertas.

"Dalam hitungan ke tiga. Satu ..., Dua ..., Tiga!"

Kau membuka gulungan, melihat yang tertulis adalah angka tiga. Kepalamu menoleh untuk menatap Gempa yang duduk di sampingmu. Tulisan di kertas adalah angka satu.

Yah, tidak barengan sama Kak Gempa, batinmu kecewa.

Kau melihat Blaze yang berdiri dengan tangan bersorak. "Aku nomor empat! Siapa yang nomor empat juga?!"

" ... Aku." Suara yang lemah menjawab. Ternyata Ice yang akan menjadi pasangan Blaze hari ini.

Lalu Solar berakhir dengan Taufan dan Thorn bersama Gempa. Jadi, satu-satunya yang tersisa ....

Kau menatap Halilintar yang hanya duduk diam di tempatnya.

" .... "

" .... "

Keheningan yang mematikan memenuhi ruang keluarga ... menurutmu.

Kau menghela nafas dalam hati seraya mengambil tongkat pel dan semprotan air sabun, bersiap untuk melakukan tugasmu. Tapi, tiba-tiba tongkat pel di tanganmu direbut oleh orang yang sebelumnya hanya duduk diam.

Kau menatap Halilintar heran. "Eh? Kakak?"

Halilintar hanya menatapmu sekilas sebelum melenggang pergi ke ruang tamu. "Ayo pergi."

Kau tertegun sejenak, lalu menyunggingkan senyum senang dan bergegas menyusul kakak tertua yang mendahuluimu.

Kau melihat sosok Halilintar yang sedang menggeser sofa dan meja ke dinding. Kau ingin membantunya, tapi kakakmu itu langsung menyela, "Tidak perlu. Kamu diam saja di sana."

Mendengar nada dingin kakakmu―yang memang sudah dari lahir―kau terdiam mematung dan berdiri di tempat hingga semua barang di ruang tamu dibereskan oleh Halilintar.

Halilintar mengambil semprotan air sabun dari tanganmu, kemudian menyemprotkannya ke lantai keramik seraya mengepelnya; semua itu ia lakukan seorang diri.

Kau hanya bisa mengerucutkan bibirmu, merasa tidak bisa melakukan apa-apa.

Ruang tamu beres, selanjutnya adalah ruang makan. Sebelum Halilintar bisa bertindak, kau segera mengambil alih dengan mengangkat kursi ke atas meja. "Kak Hali, aku bisa melakukannya!"

Halilintar ingin menghentikanmu, namun gerakanmu sangat cepat. Kau mengangkat semua kursi ke atas meja makan, kemudian menggeser meja ke tepi. Dengan begitu, lantai bisa dibersihkan dengan mudah.

Melihat tindakanmu, Halilintar menghela nafas panjang. "Kita tidak mengepel lantai ruang makan. Kita hanya perlu menyapunya."

" ... Eh?"

Kau hanya bisa melongo melihat kakakmu membetulkan kursi dan meja kembali ke tempatnya semula.

Kau menundukkan kepala, merasa malu karena telah melakukan kesalahan dan merasa kecewa karena tidak bisa membantu Halilintar; justru malah menambah pekerjaannya.

Halilintar yang melihatmu seperti ini tersenyum kecil. Ia menepuk lembut puncak kepalamu dan berkata, "Ayo, kita sapu lantai bersama."

Kau menatapnya dengan kilauan di mata [e/c]-mu, tersenyum gembira dan mengangguk.

"Um!"

―tapi dia sangat sayang padamu.

•••

Fakta Halilintar:
Anak pertama; selisih 6 bulan dari Taufan, 1 tahun dari Gempa, 3 tahun dari Blaze, 3½ tahun dari Ice, dan 4½ tahun dari Thorn, Solar dan [Name].

My Dear Brothers || F/M! ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang