13. Rutinitas pagi (part 1)

421 55 1
                                    

Note: POV ketiga
•••

Sebelum ayam jago bisa berkokok, Gempa telah terbangun dari ranjang tidurnya yang nyaman. Dengan cekatan ia merapikan kasur, membuka jendela, dan menyapu lantai kamar. Kemudian, sebelum semua saudaranya terbangun, ia yang pertama kali menggunakan kamar mandi; karena Gempa―walau ia orang yang paling waras dari saudara-saudaranya―tidak ingin terlibat perang dunia antara Halilintar dan Taufan.

Gempa itu manusia. Ia masih punya tali kesabaran yang perlahan namun pasti akan terputus. Ketika itu terjadi, mungkin nama 'Gempa' akan benar-benar menjadi kenyataan―jadi, tolong jangan membuat orang sabar menjadi esmosi.

Usai menggunakan kamar mandi, Gempa akan langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Pada waktu ini, orang kedua yang terbangun adalah Solar.

Sebelas dua belas dengan Gempa, Solar yang terbangun akan langsung merapikan kamarnya. Namun, alih-alih keluar untuk menggunakan kamar mandi, Solar akan duduk di kursi dan mengulas materi pelajaran yang akan dipelajari di kelas nanti.

Setidaknya, ia akan tetap belajar sampai semua saudaranya telah menggunakan kamar mandi.

Alasannya hampir mirip dengan Gempa; ia tidak ingin jadi korban dari perang dunia antara Halilintar dan Taufan.

Ketika Solar sibuk belajar, orang ketiga yang terbangun adalah Halilintar.

Sebenarnya, Halilintar sangat tidak ingin bangun pagi sekarang. Tapi mengingat ia punya jadwal untuk bertemu seseorang yang sangat tidak ingin ia temui, dengan enggan hati Halilintar harus membuka matanya lebih awal dari yang seharusnya.

Dengan perasaan sangat tidak ingin menggerakkan tubuhnya, Halilintar bangkit dari kasur dan keluar kamar tanpa merapikan terlebih dahulu. Ia benar-benar sangat tidak ingin pergi ke manapun saat ini, seolah-olah Ice telah merasuki tubuhnya.

Namun karena wajahnya yang selalu dingin, tidak ada yang pernah menyadari sedikit kemalasan di dalam hatinya.

Mungkin ... hanya Gempa seorang yang menyadarinya.

Melihat saudara tertua turun dari lantai dua, Gempa tersenyum dan menyajikan kopi untuk Halilintar yang masih memiliki rambut berantakan seperti sarang burung. "Kamu keliatannya mager, kenapa?"

Halilintar duduk di kursinya. Ia menyeruput sedikit cangkir kafein sebelum menjawab dengan suara serak, "Ada janji dengan pria itu."

Gempa tampak tidak bisa memahami siapa yang dimaksud Halilintar dengan 'pria itu'.

Melihat kebingungan di mata emas saudaranya, Halilintar berkata dengan suara rendah, "Ayah."

Senyum Gempa menghilang.

Detik ini, Thorn terbangun dari mimpi indahnya karena dering jam beker yang berbentuk kaktus. Setelah merapikan kamarnya yang bagai hutan hujan tropis, ia berjalan keluar kamar menuju kamar dengan pintu berwarna kuning cerah―pintu kamar Solar.

"Solar?" Thorn mengetuk pintu dengan irama tertentu. "Yuk buat boneka kaktus!"

Seolah-olah ia memerankan Anna dari kartun tertentu, Thorn berkata dengan nada kekanak-kanakan, "Mainlah denganku!

"Ku tak pernah melihatmu ... Keluarlah ... Berhenti menghilang~"

Entah sejak kapan ada dua boneka mini di tangan Thorn. Satu boneka memakai kacamata emas, sementara yang lain memakai baju serba hijau. Thorn melanjutkan, "Dulu kita bersama ... Kini beda ... Jelaskanlah mengapa?"

Ia mengintip ke dalam lubang kunci, samar-samar melihat sosok saudaranya yang sibuk membaca buku. "Yuk buat boneka kaktus~" Kemudian, ia berbicara ke dalam lubang kunci, berharap berhasil menarik perhatian Solar. "Atau bermain yang lain~"

Pintu kuning tiba-tiba terbuka, tampaklah Solar yang berdiri di balik pintu dengan piyama kuning cerahnya.

"Thorn, jangan kebanyakan nonton film. Perbanyaklah belajar. Nilaimu lebih rendah dari punya [Name]." Kedutan kesal terukir di pelipis Solar. Ia masih lelah karena semalam suntuk telah belajar untuk persiapan lomba matematika, dan Thorn tiba-tiba datang mengetuk pintunya sambil bernyanyi ala kartun tertentu ... jelas emosi Solar semakin tak terbendung. Tanpa sadar ia berkata, "Jika mama tau, dia pasti akan membuangmu―"

Tepat setelah itu, pintu kamar sebelah terbuka memotong kata-katanya. Ini waktu bagi [Name] terbangun dari tidurnya.

Melihat kehadiran adik bungsunya, Solar segera tersadar dan menyadari apa yang telah ia katakan. Dengan cepat ia mengubah lidahnya. "Thorn, jangan pikirkan kata-kataku."

Thorn tertegun sejenak, kemudian senyum polos kembali tersungging di bibirnya. Ia melanjutkan bait terakhir dari lagu yang ia parodi, "Baiklah~"

Pada akhirnya, karena gangguan Thorn, Solar mengakhiri sesi belajarnya lebih cepat dan mengajak kedua saudaranya untuk turun ke lantai bawah. Gempa yang melihat ketiga saudaranya terbangun dengan muka bantal pun menyajikan tiga minuman kesukaan mereka.

Selanjutnya, yang terbangun adalah Blaze.

Tanpa merapikan kamarnya yang bagai kapal pecah, ia bergegas turun ke dapur dengan piyama berpola api yang tidak terkancing dengan benar.

"Selamat pagi!" Dengan semangat yang tidak dimiliki orang bangun tidur, ia bersorak menyapa saudara-saudaranya. Blaze memandang sekitar dan bertanya bingung, "Taufan belum bangun?"

"Kayaknya iya," sahut Gempa. Ia menyajikan susu hangat untuk saudaranya yang berbeda dua tahun itu. "Coba kamu bangunkan."

Dalam sekali teguk, Blaze menghabiskan susunya, kemudian berlari ke lantai dua untuk membangunkan saudaranya yang hobinya mengusik orang lain.

Ketika semuanya berpikir Taufan akan turun―bahkan Halilintar bersiap untuk menggunakan kamar mandi dengan cepat, hal yang diluar dugaan terjadi.

"Ice! Apa yang terjadi?!" Suara Blaze yang menggelegar ke penjuru rumah terdengar panik dan ketakutan.

Semua saudara di dapur saling bertatapan dengan wajah heran terlukis dengan jelas.

Blaze tidak pernah seperti ini, jadi apa yang membuat saudara paling optimis di keluarga ini begitu cemas?

Mereka pun bergegas menuju sumber suara.

•••
Fakta delapan bersaudara:
Halilintar sangat membenci 'Ayah'.

.

.

Arbi's Note:
Maaf update Jumat, soalnya dua hari kemarin terlalu sibuk sampai lupa update :")

My Dear Brothers || F/M! ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang