26. Keputusan

260 46 7
                                    

Note: POV ketiga

Aku update sekarang, soalnya rencana mau buat chapter spesial puasa nanti😁

•••

"Halilintar?"

Gempa mengetuk pintu merah yang tertutup dengan lembut. Tidak kunjung mendapat balasan, ia bertanya khawatir, "Hali, kamu nggak papa?"

Samar-samar, terdengar sahutan dari dalam kamar. "Gempa, pergilah."

Alih-alih mengikuti suara itu, Gempa semakin mengerutkan alisnya. "Kamu emosian hari ini, kondisimu pasti sedang tidak stabil. Izinkan aku masuk."

Sekali lagi, tidak ada tanggapan.

Akhirnya, Gempa memutuskan untuk memaksa masuk. Ia meraih kenop pintu dan merasakan arus listrik yang hampir mengejutkannya.

Ia pun menghela nafas panjang.

"Hali, aku ini 'tanah'. Trik kecilmu tidak mempan bagiku."

Dengan begitu, pintu merah terbuka. Namun, sebelum Gempa bisa melangkah masuk, sosok merah dengan secepat kilat muncul dan langsung membanting pintu tepat di depan wajahnya.

Pintu merah tertutup kembali, bahkan suara kunci terdengar.

" … " Gempa hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. "Oke kalo begitu. Aku gak akan masuk, tapi bisakah kamu dengarkan apa yang mau aku bicarakan?"

Tanpa menunggu tanggapan, Gempa langsung berkata dengan nada menenangkan, "Kamu tersulut emosi hari ini. Kalo itu Blaze, aku nggak heran. Tapi, masalahnya kamu terlalu terbawa suasana. Tidak seperti biasanya, jadi aku ingin tahu apa yang membuatmu tertekan akhir-akhir ini.

"Apa ibu yang terus bertanya tentang kondisi di sini? Atau ayah yang terus menekanmu untuk lebih 'sempurna'?

"Atau mungkin … karena hari 'kematiannya' semakin dekat?"

Braaak!

Pintu yang terkunci di pukul dengan keras dari dalam, membuat Gempa segera menutup mulutnya.

Samar-samar dari balik pintu, terdengar suara dingin dan serak. "Diam."

Kemudian, lampu berkedip dengan cepat, seakan ada listrik bertegangan tinggi yang bermasalah di rumah.

Dengan cepat Gempa berkata pada pemilik kamar berpintu merah, "Hali, kendalikan kekuatanmu! Jangan buat kota ini mati listrik lagi!"

Ctaasss!

Sayangnya, peringatan Gempa terlambat selangkah. Bola lampu di langit-langit koridor pecah, begitu pula dengan peralatan listrik lain di seluruh rumah. Terdengar seruan kaget dari lantai bawah, yang diakibatkan saudara-saudaranya terkejut dengan mati listrik mendadak.

Gempa buru-buru melihat sinyal di ponsel; benar saja, tidak ada jaringan yang terkoneksi.

"Ada apa, Kak Gempa?" Suara Solar tiba-tiba terdengar dari belakang.

Begitu Gempa berbalik, ia melihat adiknya itu berjalan seorang diri mendekatinya. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa selain mereka, Gempa pun menjelaskan, "Halilintar hilang kendali lagi."

Samar-samar terdengar suara dengkus dari balik pintu merah, seolah sang empu yang dimaksud menyangkal perkataan Gempa.

Solar mengangguk mengerti. "Terus, alasan apa lagi yang kita buat? Ini sudah yang ke-56 kalinya Kak Hali membuat kota mati lampu."

Gempa terdiam sejenak sebelum berkata, "Aku ingin minta bantuan dari Kak Supra."

" … Apa?" Mata di balik kacamata itu menunjukkan keterkejutan. "Supra siapa? Supra yang 'itu'?! Bukannya dia masih di Rusia?!"

"Tidak. Dia sudah kembali sekitar dua bulan yang lalu." Gempa bisa memahami alasan terkejutnya Solar; bagaimanapun, hubungan dua orang itu tidak pernah akur hanya karena masalah di masa lalu.

Bibir Solar terbuka seakan hendak mengatakan sesuatu, namun ia menutup kembali mulutnya rapat dengan alis berkerut. Setelah berpikir panjang, Solar pun berkata dengan nada rendah, "Kenapa harus dia?"

"Kalau bisa, aku juga tidak ingin merepotkan dia." Gempa mengembuskan napas pasrah, wajahnya terlihat pucat. "Tapi, selain Kak Supra, aku tidak bisa memikirkan siapa lagi yang bisa menyembunyikan masalah hari ini dari telinga ayah."

Solar mengerti maksud kakaknya itu. Jika ayah mereka tahu anak tertua yang ia banggakan hilang kendali, hasilnya tidak bisa dibayangkan. Bahkan Solar tidak berani membayangkannya; sama seperti bagaimana ia tidak ingin Blaze bertingkah tanpa berpikir di Rumah Utama nanti.

"Ck!" Meninggalkan decakan kesal, Solar berbalik menuju tangga. "Terserahlah."

Gempa menyaksikan sosoknya pergi, kemudian melirik pintu merah yang entah sejak kapan membuka celah kecil dengan mata merah mengintip. Jika bukan karena Gempa mengetahui mata itu milik saudaranya, ia pasti akan segera melafalkan Ayat Kursi.

"Lihat, Hali. Semua ini semakin melelahkan."

Halilintar tidak membalas perkataannya. Mata merahnya yang tajam menatap Gempa untuk beberapa saat, sebelum akhirnya pintu terbuka lebar sepenuhnya.

Sosok tinggi berdiri dengan bahu bersandar pada pintu, disertai suara malas yang tidak biasanya akan terdengar dari seorang Halilintar. "Jangan terlalu dipikirkan."

Pandangannya mengarah ke tangga, di mana sosok Solar telah pergi ke lantai bawah.

"Jangan hubungi Supra. Orang itu tidak bisa ditebak pikirannya."

•••

Fakta delapan bersaudara:
Solar tidak menyukai siapa pun yang berasal dari Rumah Utama.

My Dear Brothers || F/M! ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang