25. Pertengkaran

306 46 4
                                    

Sarapan pagi bersama seluruh saudaramu sangatlah menyenangkan, karena pasti akan ada di antara saudara yang suka bersenda gurau.

Misalnya, Taufan dan Blaze.

"Blaze, tau nggak? Kemaren aku pergi ke toko, trus liat si A lagi bla bla bla bla!"

"Hahahaha! Masa sih?! Kok bisa si A itu bla bla bla bla?!"

"Bisa lah! Kan si A bla bla bla bla!"

Sungguh, mereka berdua benar-benar bilang 'bla-bla-bla', bukan Author-nya yang malas ketik✌️

Karena ke-gaje-an yang dibahas oleh dua saudara pembuat masalah ini, Halilintar pun mengeluarkan aura kakak tertuanya. "Kalian bisa diem nggak?!"

Gempa pun turut menasihati dengan lembut. "Taufan, Blaze, kalau makan jangan sambil mengobrol. Nanti keselek loh."

Ice juga menyikut Blaze yang duduk di sampingnya. "Jangan berisik."

Jika itu Halilintar yang marah, mungkin Taufan dan Blaze tidak akan begitu patuh. Tapi, karena Gempa dan Ice sudah ikut bicara, jadi keduanya langsung tak bersuara dan melanjutkan makan dengan tenang.

Kemudian, Halilintar yang seharusnya kembali makan, tiba-tiba menatap Blaze dengan ekspresi rumit. "Blaze, kamu sudah kelas tiga sekarang."

"Ya, terus?" Blaze mengangguk membenarkan.

Kau merasa sedikit aneh, tidak biasanya Halilintar akan membahas masalah seperti ini.

"Kamu sudah siap sama universitas pilihanmu?"

Ruang makan menjadi hening seketika.

Kalian semua―minus dua orang yang bersangkutan―saling menatap dengan bingung.

Masa SMA mungkin menjadi masa terindah bagi para remaja, tapi itu juga masa sulit di mana kita akan menentukan jalan masa depan kita; apakah memilih langsung bekerja atau melanjutkan belajar dengan kuliah. Untukmu, Thorn, dan Solar―yang masih kelas satu―masih memiliki waktu luang, begitu pula dengan Ice yang di kelas dua. Namun, bagi Blaze yang sudah kelas tiga, itu benar-benar harus membuat pilihan untuk lanjut kuliah atau tidak.

Pada dasarnya, apa yang ditanyakan oleh Halilintar adalah hal yang normal. Sebagai saudara tertua di keluarga ini, ia memang harus memperhatikan masa depan adik-adiknya.

Tapi, jelas semua orang tahu, Blaze bukanlah orang yang suka belajar. Alih-alih memilih lanjut kuliah, ia pasti lebih suka bekerja―tidak, bahkan menurutnya bekerja itu merepotkan.

Singkatnya, Halilintar pasti tahu bagaimana sifat Blaze, mengapa saudara tertuamu ini masih menanyakannya?

"Aku tidak lanjut," balas Blaze dengan ketus. "Aku mau jadi pemain e-sport!"

Hobi bermain game, jadi bekerja sebagai pemain e-sport? Luar biasa, batinmu yang kehabisan kata-kata setelah mendengar pernyataan saudara keempatmu.

"Menjadi pemain e-sport belum tentu sukses. Kamu bisa saja menjadi pemain cadangan. Pekerjaan ini tidak terjamin, lebih baik kuliah," kata Halilintar dengan tegas.

Sekarang kalian semua―termasuk Blaze―bisa merasakan keanehan dari Halilintar. Biasanya, saudara tertua ini tidak akan peduli dan hanya mengangguk setuju, mengapa ia membuat alasan untuk menolak?

Blaze tidak bisa menahan kerutan alisnya, mulai tidak sabar dengan obrolan ini. "Kak, sudah aku bilang nggak mau lanjut kuliah! Kalaupun aku gak jadi pemain e-sport, aku bisa jadi pemain sepak bola! Pokoknya, aku nggak mau lanjut!"

"Terus apa bagusnya jadi dua profesi itu?!" Halilintar juga tampak tidak sabar dan mulai menaikkan nada bicaranya. "Kamu bisanya cuma main saja! Nilaimu di bawah rata-rata! Bagaimana hidupmu di masa depan nanti!"

My Dear Brothers || F/M! ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang