35

1K 82 1
                                    

Mark mengehela nafasnya panjang, ketika menatap Chenle yang membungkuk sopan padanya dan perlahan masuk ke gerbang sekolah.

" Chenle-ya!" Teriak Mark keluar dari mobilnya. Chenle menghentikan langkahnya, dan perlahan kembali menuju ayahnya

" Iya ayah?"

" Bersenang senanglah di sekolah hm? Tegakkan bahumu dan tersenyumlah"

Mark berjongkok, menyamakan tingginya dengan Chenle dan mengelus pelan kepala Chenle

" Maaf ayah..."

" Eung... tidak perlu meminta maaf..." Mark menggelengkan kepalanya dan tersenyum teduh.

Chenle mengangguk dan memeluk pelan ayahnya. Tak lama kemudian beberapa teman Chenle mulai memanggilnya dan mereka pun masuk ke dalam sekolah bersama.

Mark masih menatap putranya sendu, sudah 4 tahun sejak kejadian itu dan Mark kini sudah pindah ke Kanada, tapi putranya itu masih terlihat sedih dan tidak bersemangat sedikitpun.

Malam itu Chenle mendengar pertengkaran kedua orang tuanya dan karena ia yang hampir ditabrak membuatnya sedikit trauma dengan sekolah.

Mark masih ingat Chenle menangis ketakutan saat ia terpaksa ke playgropu karena Mark sibuk mengurus surat perceraian dan harus bolak balik kantor kejaksaan.

Mark tau dan sadar ia lah yang menyebabkan putranya seperti itu, Mark sudah membawa Chenle ke psikolog dan sedikit tenang karena setidaknya Chenle bisa bersekolah denga normal. Hanya saja anak itu masih terlihat sedih dan psikolog itu bilang hanya satu yang bisa mengobatinya.

Sosok yang selama ini putranya cari...

Haechan

Mark bisa saja mencari dimana sahabat lamanya itu, hanya saja, Mark tidak ingin lagi menghancurkan hati Haechan, karena itu Mark tidak pernah berani membahas Haechan baik dengan psikolog Chenle maupun Chenle sendiri.

.
.
.

"Dia papi mu?"

Chenle terlonjak kaget ketika teman sebangkunya tiba tiba berbicara.

" Uh... ti-tidak..."

" Hmmm kupikir dia papimu karna kau selalu melihat foto itu... uwahh ini kau waktu kecil ya lucu sekali"

Jisung teman sebangku Chenle dengan tidak sopan merebut foto itu dari tangannya, Chenle yang tidak terima dengan cepat merebut kembali foto itu dengan kesal membuat Jisung sedikit terkejut.

" Maaf... a-aku hanya ingin melihat.."

Melihat Chenle yang mendekap foto itu Jisung hanya bisa mengelus punggung temannya itu untuk menghiburnya. Chenle kembali menatap foto dirinya yang tengah digendong oleh pamannya itu saat mereka pergi ke Disneyland.

" Dia siapa?" Tanya Jisung setelah beberapa saat

" Paman ku...."

" Kau rindu dengannya?" Chenle mengangguk pelan

" Kenapa tidak minta ayah mu mengantar ke tempat paman mu?" Chenle menggelengkan kepalanya pelan

" Aku tidak tau dimana rumah paman.. Ayah juga tidak suka aku bertemu dengan paman"

" Ayah mu jahat sekali... yang sabar ya Chenle..."

Ditengah dua anak itu mengobrol, guru masuk kedalam kelas dan meminta seluruh murid kelas pergi ke Aula karena ada penyuluhan yang akan diberikan.

Chenle mendengar dengan sedikit tidak bersemangat kepala sekolah yang sedang bercerita, diam diam ia kembali mengeluarkan foto itu dan hanya diam menatapnya.

Chenle juga bingung padahal orang itu hanya pamannnya, tapi Chenle merasa seperti orang tuanya, bahkan setelah empat tahun lamanya Chenle tidak pernah menanyakan tentang papinya sendiri.

Ditengah Chenle yang sibuk termenung suara seseorang di panggung membuat atensinya teralihkan. Chenle menatap pria yang tengah bergurau dan bercanda di atas panggung. Sangking lamanya ia termenung, Chenle tidak sadar saat ini yang di atas panggung bukan lagi kepala sekolah.

Chenle awalnya sedikit bingung, tapi sesaat kemudian ia menitikkan ketika menyadari siapa pria itu. Chenle pun reflek berdiri dari duduknya dan berjalan perlahan menuju panggung. 

"yak! Chenle apa yang kau lakukan!" Bisik Jisung berusaha menahan temannya itu, tapi percuma Chenle sudah jauh dari jangkauannya.

.
.
.
.
.

Chenle menundukkan kepalanya, berusaha menahan isak tangisnya. Chenle pun tidak peduli jika kini teman teman dari kelas mulai berbisik membicarakannya pasalnya tadi di aula ia tiba tiba menangis dan berlari keluar dari aula.

" Hey... kau mau minum?"

Chenle mengadahkan kepalanya, menatap pria yang tadi berbicara di aula. Chenle menggelengkan kepalanya menolak minuma  pemberian pria itu.

" Wah... aku tidak menyangka kau sudah kelas tiga.. padahal kau dulu masih sangat kecil, masih ingat kita main pedang pedangan?"

Chenle terkekeh pelan sedangkan pria itu mengusap pelan kepalanya.

" Masih ingat paman ya?"

" Eung.. paman pencuri"

Jeno tersenyum membawa Chenle kepelukannya. Jeno tadi yang sedang mengisi acara di sekolah Chenle sedikit terkejut ketika ia tiba tiba di peluk oleh murid di tengah acara. Jeno yang saat itu masih terkejut tidak menyadari siapa anak itu, kemudian saat anak itu berlari keluar dan guru meneriakin namanya, Jeno baru ingat siapa anak itu.

" Kau masih marah padaku? Karna menculik paman mu?"

Chenle menggeleng pelan

" Apa paman Haechan baik baik saja?"

Jeno sedikit terhenyuh, dulu anak itu tidak bisa memanggil pamannya dengan benar, tapi sekarang nama Haechan jelas keluar dari mulutnya. Jeno tidak tau apa rencana tuhan mengapa hubungan Chenle dan Haechan seperti hubungan orang tua dan anak.

" Eung... dia baik kok... kau mau bertemu dengannya atau mau aku menelfonnya?"

Chenle menatap Jeno penuh harapan, tapi sedetik kemudian ia teringat akan ayahnya. Chenle masih ingat saat dirinya menanyakan dimana pamannya itu Ayahnya menjadi sangat sedih.

" Lho kenapa? Bukannya kau merindukannya?" Tanya Jeno heran karena Chenle menggelengkan kepalanya pelan.

" Ayah pasti marah dan sedih kalau aku bertemu paman... "

Jeno bisa melihat ketakutan dan kekhawatiran dari suara Chenle. Jeno bisa merasakan anak ini menyimpan suatu trauma dan hal itu berkaitan dengan Haechan.

"Baiklah... jika kau tak mau tak apa.. tapi kalau aku ingin bertemu dengan mu lagi boleh?"

Chenle mengangguk pelan. Dan tidak lama setelah itu bel berbunyi pertanda sekolah sudah usai.

" Kau mau ku antar pulang? Atau di jemput ayah mu?"

" Aku dijemput paman.... terimakasih...Maaf tadi sempat membuat paman bingung"

" Eung tidak masalah... aku akan sering berkunjung ke sekolah mu... aku boleh mengobrol lagi dengan mu?"

" Baik paman... terimakasih... boleh aku memeluk mu sekali lagi?"

" Hahaha tentu kemarilah..." Jeno membawa Chele kepelukannya dan perlahan Jeno kembali mendengar isakan tangis.

[COMPLETED] Replaced || MarkhyuckWhere stories live. Discover now