BAB 27

3.2K 293 9
                                    

Nenek Eda tengah berjalan tergopoh-gopoh sambil memanggul barang bawaan yang cukup banyak. Ia berencana untuk pergi selama-lamanya dari Hutan Biru, dan kembali memulai hidup dengan identitas baru di tempat lain yang juga tersembunyi. Ia memang rutin melakukan itu, dan tidak pernah tinggal menetap terlalu lama. Semua itu ia lakukan semata-mata demi menjaga keselamatannya sendiri.

Di tengah jalan, ia melihat sebuah sayembara yang tertempel di dinding jalanan. Orang-orang mengerumuni selebaran itu, termasuk Nenek Eda. Di sana terpampang jelas lukisan wajah Scania, dan berbagai kesalahan yang dituduhkan padanya, termasuk mengenai buku berstampel Kerajaan Brigham.

"Aku harus membantu gadis itu," ujar Nenek Eda, lalu buru-buru berbalik arah.

****

Scania berjalan secepat mungkin demi mengikuti langkah dua pengawal yang mengekang kedua tangannya hingga terasa sakit. Baru pertama kali ia diperlakukan seperti sampah yang diseret di lantai, dan ini mungkin saja bisa menjadi lebih buruk. Bibirnya menutup rapat-rapat, menahan diri agar tidak mengeluh maupun protes, karena hal tersebut hanya akan membuat hukumannya semakin berat. Lagi pula, ini sudah menjadi keputusan Scania, dan ia tidak mau menyesalinya.

Seusai menuruni tangga yang dingin dan lembab, Scania dijebloskan ke dalam sebuah ruangan kosong berjeruji besi. Ia jatuh memeluk lantai, lalu berusaha keras untuk menoleh ke arah dua pengawal yang membawanya. "Di mana ini?!" tanyanya panik.

Pencahayaan di sana begitu minim. Scania tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama berada dalam jeruji besi itu. Ia sekarang memang tawanan, namun ia tentu tak mau selamanya menjadi tawanan. 

"Ini makananmu!" seru salah seorang pengawal.

Beberapa saat kemudian, pengawal itu melemparkan sekantung roti ke celah jeruji. Scania gagal menangkapnya, sehingga roti itu mendarat di lantai. Penampilan roti itu sama sekali tidak membuatnya lapar, mungkin itu stok lama. Namun, Scania tahu roti itu satu-satunya penyambung hidupnya untuk saat ini. Aku tidak mau mati di sini, pikir Scania sambil memungutnya.

Pengawal-pengawal itu kemudian pergi meninggalkan Scania begitu saja. Salah seorang dari mereka lalu berceloteh pada temannya, "Kau seharusnya memberikan roti itu dengan lebih sopan. Bisa-bisa kau disihir oleh gadis itu, seperti yang ia lakukan pada pangeran!"

****

Scania duduk bersandar pada dinding yang dingin dan keras. Ia refleks memejamkan kedua matanya yang terasa berat. Hari ini sungguh melelahkan, batinnya tak karuan. Sejak ia kecil, ia selalu mengalami hal-hal melelahkan di dapur istana, namun tidak separah ini. Meskipun begitu, ia berusaha untuk tetap kuat karena nasibnya mungkin saja bisa menjadi lebih buruk besok. Ditambah lagi, Raja Brigham sama sekali belum memberikan ultimatum lanjutan mengenai hukuman untuknya, yang tentu saja sebenarnya tidak bersalah.

Saat Scania masih terlelap sangat nyenyak, terdengar derap langkah entah milik siapa. Lama kelamaan bunyinya makin nyaring, menandakan sosok itu semakin dekat padanya. Scania agak terganggu, dan memaksakan diri membuka matanya walau tak terbuka sempurna. Ia menerka kehadiran orang lain di sana. Mungkin hukumanku telah tiba, pikir Scania ketakutan.

Dalam kegelapan, sosok tersebut hanya berdiri di depan jeruji besi dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia berdiri di sana sekitar lima menit, dan hanya memandangi Scania yang masih diam tertidur. Setelah itu, langkah kakinya terdengar menjauh.

Scania selalu didatangi oleh sosok itu di setiap malam. Memang benar ia hanya berdiri mematung dekat jeruji, namun anehnya, setiap Scania bangun keesokan harinya, ada berbagai makanan lezat yang tersedia di dalam ruangan tempatnya dikurung. Pengawal yang aneh, pikir Scania. Tapi sepertinya dia cukup baik di antara pengawal-pengawal lainnya.

Pada suatu malam, Scania memutuskan untuk berbicara pada pengawal aneh itu. Ia berusaha agar tidak tertidur saat malam, walaupun pada hari itu ia merasa sangat mengantuk. Ketika waktu yang ia tunggu-tunggu tiba, sesuai dugaannya, pengawal itu akan ada di depan jeruji dan memasukan berbagai makanan lewat celah-celahnya seperti biasa.

Scania dengan cepat menggenggam tangan asing tersebut, sebelum ia bisa menariknya. "Tolong beri tahu aku, apa hukuman dari raja untukku. Apakah itu hukuman mati?"

Tangan pengawal itu gemetar. Sepertinya ia tidak menyangka tahanan di dalam sana akan berani menyentuhnya. Mereka berdua kini duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat, hanya terhalang barisan besi tipis yang menjulang tinggi di antara kegelapan.

"A-Aku tidak tahu," kata sosok itu sedikit panik. Ia berusaha menarik tangannya, namun Scania semakin menariknya, kali ini dengan kedua tangannya.

"Milo?" bisik Scania tak percaya. Ia baru saja mendengar suara yang ia rindukan di kegelapan penjara bawah tanah. Ia buru-buru melepaskan cengkraman tangannya. "M-Maksudku, Yang Mulia, maafkan kelancangan yang baru saja terjadi."

Setelah Scania melepaskan tangannya, Milo baru sadar bahwa ia sebenarnya tak ingin menjauh dari gadis itu. "Berhenti memanggilku Yang Mulia, Scania."

Scania bingung. "T-tapi-"

"Ini perintah!" tegas Milo, lalu membuang muka. Ia begitu benci dengan adanya jeruji besi yang menghalangi mereka berdua.

Scania tidak mampu menanggapi perintah itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Sebenarnya Ia sedikit malu karena harus bertemu dengan Milo sebagai tahanan. Ternyata orang ini bukan pengawal, batin Scania dengan perasaan bersalah karena perbuatannya.

"Aku menawarkanmu sekali lagi, Scania." Milo menyodorkan sekumpulan kunci dengan bunyi gemerincing yang nyaring. "Lebih baik kita pergi bersama-sama."

Scania menggigit bibirnya. "Tapi kau seorang pangeran."

"Semua ini tidak ada artinya, Scania. Ini menyakitiku. Melihatmu terkurung seperti ini, bukan hanya kau saja yang menderita," balas Milo dengan penekanan. Milo buru-buru menarik tangan Scania. "Aku bisa membuka jeruji ini. Malam ini juga."

Scania spontan menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Milo. "Aku tidak bisa menerima bantuanmu. Nanti kau akan mendapat masalah karenanya," bantah Scania. "Aku berada di sini karena keinginanku sendiri. Jika aku melarikan diri, akhir ceritanya akan sama saja. Raja akan menyebar sayembara lagi dan aku pasti akan segera tertangkap," lanjutnya.

Milo bersikeras, "Sudah kubilang, aku akan ikut denganmu. Aku akan menjagamu sampai kapan pun," ulangnya.

Scania tenggelam dalam pikirannya. Melarikan diri bukanlah solusinya, melainkan justru memperparah keadaan. Scania tahu perang antara dua kerajaan akan terjadi jika ia berani melakukannya. 

"Kumohon jawab aku. Apa yang kau inginkan saat ini, Scania? Katakan padaku," tanya Milo di sela keheningan. "Apa kau masih marah padaku karena telah memulai semua ini karena lamaranku waktu itu?"

Scania menghela napas panjang. "Perbedaan kasta di antara kita sangat jelas, sehingga tidak mungkin kita bisa bersatu," jelasnya sambil menitikkan air mata. Sangat sulit bagi Scania untuk membohongi perasaannya, bahwa ia sebenarnya juga tidak ingin berpisah dari pemuda itu. Scania lalu meminta agar Milo melupakannya selamanya.

Milo mundur beberapa langkah. "Itu sulit, Scania. Tapi aku akan mencobanya, jika itu bisa membuatmu bahagia." Setelah itu, ia menghilang di kegelapan, meninggalkan Scania yang masih merasakan sesak jika teringat kenangan mereka di masa lalu.

****

Ih sedih banget sih mereka berdua :(

Kalau kalian suka cerita ini, jangan lupa share dan rekomendasikan ke orang terdekat, ya. Sekali lagi terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini!

The Unwanted Princess [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang