BAB 32

3K 270 4
                                    

Kuda milik Elric berlari kencang melawan angin. Surainya melambai ke berbagai arah, seiring dengan peningkatan kecepatannya meninggalkan istana Brigham yang kini jauh tertinggal di belakang. Situasi sulit baru saja terlewati dengan baik. Kini, ia dan tuannya dapat melalui perjalanan dengan lebih tenang.

"Jadi, kau seorang algojo?" tanya Scania memecah keheningan.

Elric memandang lurus ke depan, membiarkan Scania bertanya-tanya. Pikirannya kini lega. Semua beban pikirannya lenyap begitu ia mendapatkan Scania masih baik-baik saja di sisinya. Sekarang, tak ada yang perlu dicemaskan lagi.

"Elric," panggil Scania ketakutan. Perjalanan di atas kuda ini bagaikan momen-momen terakhirnya menghirup napas sedalam-dalamnya, jadi ia begitu menikmatinya. "Kau sungguh ingin mengeksekusiku? Di mana?"

Karena tidak tega mendengar pertanyaan itu, Elric akhirnya mendengus kesal. "Apa sejak awal pernah terpikir olehmu kau akan menerima hukuman mati?"

"Tidak!" Scania menepis tuduhan itu. "Aku yakin aku tidak bersalah."

"Tapi tidak ada seorang pun yang bisa membuktikannya, bahwa kau tidak bersalah." Elric memacu kudanya agar berlari lebih kencang. "Kau beruntung tadi aku punya kesempatan masuk ke dalam istana. Aku pikir aku tidak akan melihatmu lagi."

Scania menggigit bibirnya. "Maaf kalau aku salah bicara, tapi apakah dijemput oleh algojo yang akan membunuhmu merupakan suatu keberuntungan?"

Elric tertawa pelan, entah karena terlalu menikmati terpaan angin atau menertawakan ucapan Scania. "Aku bukan algojo."

Scania menoleh ke belakang. "K-Kau bukan algojo? Jadi kau tidak akan membunuhku?"

"Tidak, aku justru sedang menyelamatkanmu," balas Elric.

Scania menaikkan satu alisnya. "Siapa kau sebenarnya?"

Elric mendengus kesal. "Bukankah sudah kukatakan bahwa aku hanya seorang penjaga tembok perbatasan?"

Scania memutar bola matanya. "Lalu kenapa kau bisa tahu aku akan mendapat hukuman mati?"

"Karena semua orang mengira kau adalah penyihir, dan memang itulah hukuman yang diterapkan di kerajaan ini," jawab Elric enteng.

"Mengapa tadi semua orang di istana percaya bahwa kau seorang algojo? Bahkan Milo, maksudku pangeran, sama sekali tidak berusaha mencegahmu." Gadis itu terlihat sangat penasaran dengan gelagat Elric, dan terus memburunya dengan pertanyaan yang beranak-pinak.

Elric terdiam. Kali ini, ia membiarkan pertanyaan itu menggantung begitu saja. "Aku kenal beberapa prajurit istana, walaupun tidak semua. Aku banyak mendapat informasi dari mereka, terutama saat Raja Brigham meninggalkan istana. Jadi, aku menggunakan kesempatan itu untuk masuk."

Scania menggelengkan kepalanya. "Bukan itu yang aku tanyakan," bantahnya. "Aku tidak bertanya bagaimana cara kau masuk, melainkan keluar. Mengapa pangeran sama sekali tidak berusaha menangkapmu? Mengapa Yang Mulia percaya sekali bahwa kau adalah algojo?"

Elric tersenyum tipis. "Justru ia membiarkanku pergi karena ia tahu bahwa aku memang bukan seorang algojo," jawabnya. "Bukankah kau bilang ia adalah temanmu? Ia jelas ada di pihakmu. Apa kau pikir ia menyerahkanmu padaku agar aku membunuhmu?"

Scania memejamkan matanya dengan dahi berlipat-lipat, lalu melipat kedua lengannya. "Mengapa kau ini sangat sulit dimengerti?" keluhnya. Ia tampak kurang puas menerima jawaban itu.

"Sudahlah, sekarang ini kau sudah aman. Lebih baik kita pulang." Elric fokus memandang lurus ke depan.

"Tidak, aku harus melakukan sesuatu." Scania menoleh ke belakang menatap dagu Elric. Mereka begitu dekat. Scania bahkan bisa merasakan embusan napas Elric di kulit wajahnya.

"Kenapa? Kau mau kembali ke istana dan menerima hukuman mati?" tantang Elric. 

Scania menggeleng. "Tidak juga. Aku mau ke rumah seseorang di Hutan Biru. Buku yang seharusnya aku kembalikan malah tertinggal di sana," jelasnya panik. "Terima kasih atas bantuanmu, tapi sekarang kau boleh turunkan aku di sini."

"Menurunkanmu di sini? Yang benar saja, Scania." Ia mengerutkan kening. "Ya sudah, aku akan mengantarmu ke sana." Ia akhirnya memberi isyarat pada kudanya untuk berbelok karena tujuan mereka mendadak berubah. Rute yang mereka akan lewati lumayan terjal, sehingga Elric semakin memeluk Scania lebih erat dari belakang. "Pokoknya jangan jauh-jauh dariku."

****

Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, mereka berdua akhirnya sampai di jembatan kayu. Kuda Elric terus melaju menerobos Hutan Biru di sisi Heloise tanpa mengurangi kecepatannya sedikit pun, sampai akhirnya kuda itu berhenti mendadak karena perintah Elric. "Sebentar!" 

"Ada apa?" heran Scania. "Sebentar lagi kita akan sampai."

Elric memicingkan matanya karena mencoba melihat sesuatu yang jauh. Beberapa saat setelah itu, ia menarik mundur kudanya ke semak-semak lebat. Ia lalu menepuk pundak Scania pelan. "Coba perhatikan baik-baik," bisik Elric sambil mengacungkan telunjuknya ke arah depan. "Di depan rumah kayu itu ada seekor kuda."

Scania menatap rumah Nenek Eda dengan seksama. Benar saja, terlihat jauh di sana ada seekor kuda berbulu kehitaman dengan tali kekang terikat di salah satu dahan pohon. "Mungkin itu kudanya Nenek Eda." Scania tersenyum. "Terakhir kali aku ke sana, rumah itu dalam keadaan kosong. Mungkin sekarang ia sudah pulang."

Elric mengangkat alis kirinya. "Apa dulu Nenek Eda punya kuda?"

Scania terhenyak. "Hmm, tidak juga. Setahuku dia tidak memelihara kuda sama sekali di rumah itu."

"Kalau begitu," kata Elric masih fokus memantau. "Lebih baik kita tunggu sebentar lagi."

Mereka berdua dengan sabar mengamati rumah itu dari balik celah antar dedaunan. Beberapa saat kemudian, akhirnya seseorang keluar dari dalam rumah itu, tapi tampaknya itu bukanlah sosok yang Scania harapkan. Dengan rasa penasaran, Scania sontak menyibak semak-semak yang menutupi pandangannya agar dapat mengenalinya lebih jelas.

"Elric," ujar Scania begitu menyadari sesuatu. "Bukankah itu Drake?"

"Sedang apa dia di sana?!" geram Elric.

Drake saat itu tergesa-gesa menaiki kudanya sambil membawa satu karung terikat yang sangat besar, hampir setinggi dirinya. Setelah ia bisa memboyong naik karung besar itu ke atas kudanya, ia pergi begitu saja menjauhi rumah itu. Setelah ia tak terlihat lagi, Scania dan Elric keluar dari semak belukar menuju rumah Nenek Eda.

"Tebakanku, Drake baru saja merampok sebagian isi rumah ini," gerutu Elric sambil mengendalikan kudanya. "Ia pasti bermaksud menjualnya kembali di tokonya."

Ketika sampai, mereka buru-buru turun dari kuda dan langsung memasuki rumah Nenek Eda. Scania terkesima saat melihat keadaan rumah itu. Tak ada perubahan sama sekali, persis seperti saat terakhir kali ia melihatnya. "Semua barang-barang yang ada di sini masih lengkap, Elric." Ia menoleh pada Elric yang tengah memperhatikan lantai kayu.

Elric tidak langsung menanggapi Scania. Ia terlalu serius mengamati sesuatu yang aneh di permukaan lantai. "Scania," bisiknya tanpa memalingkan wajahnya. "Aku salah sangka, Drake ternyata memang tidak mengambil satu pun dari benda-benda yang ada di rumah ini." Ia lalu membungkuk untuk menyentuh permukaan lantai dengan telunjuknya. "Ada cipratan darah segar di lantai. Rupanya baru saja terjadi pembunuhan di sini," jelas Elric. "Karung besar yang Drake bawa tadi, sepertinya itu berisi mayat seseorang."

****
Jangan lupa klik vote ya!

The Unwanted Princess [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang