Bab 3 - Pak Rifky

865 100 6
                                    

"Assalamu alaikum. Pagi, Pak." Sapanya pada Pak Indra yang sudah berada di kursinya.

"Waalaikum salam. Pagi juga Tia." Pak Indra mengangkat wajahnya dari layar komputer dan tersenyum pada Tia.

"Untung kamu udah datang. Baru aja Pak Rifky ke sini, kamu diminta ke ruangannya," lanjut Pak Indra.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Tia heran. Sepagi ini ia sudah dipanggil ke ruangan yang tak beda jauh dari freezer itu.

"Saya kurang tahu, kamu tanya Pak Rifky langsung aja, ya."

Setelah meletakkan tas di laci, Tia pun keluar ruangan dan berjalan menuju ruangan Pak Rifky yang ada di ujung lorong.

'Ada apa ya, pagi-pagi gini disuruh ke ruangannya Pak Rifky? Apa dia dengar ya kemarin gue sama Mirna ngomongin dia? Duh, mati gue kalo dia sampe denger,' batin Tia yang mulai was-was.

Tok tok tok!

"Permisi, Pak. Bapak panggil saya?" tanya Tia sesaat setelah berada di ruangan Pak Rifky.

"Iya, silakan duduk."

"Laporan yang saya minta kemarin, sudah diisi sama Desi. Sekarang saya minta tolong kamu membuat surat untuk masing-masing orangnya ya. Ini yang diangkat jadi karyawan kontrak, ini yang tetap lanjut outsourcing-nya. Kamu juga sekalian kontak perusahaan outsourcing mengenai hal ini ya." Pak Rifky menjelaskan panjang lebar sembari meletakkan sebuah berkas di depan Tia.

"Baik, Pak. Saya kerjakan,"

"Saya sampaikan ini ke kamu langsung, agar kamu bisa membantu pekerjaan Pak Indra. Karena Pak Indra sebentar lagi akan diangkat jadi Manager HRD dan GA. Jadi, minimal kamu sudah mengerti bagaimana membuat surat-surat yang berhubungan dengan karyawan."

Tia hanya bisa menganggukkan kepala mendengar penjelasan Pak Rifky yang panjang itu. Sambil berusaha mencerna semuanya. Tia tidak berani jika harus menanggapi dengan kata-kata, berhadapan saja sudah horor rasanya, apalagi jika sampai salah bicara.

"Baik, Pak. Saya kerjakan sekarang." Tia pun mulai bangkit dari kursinya sambil meraih berkas yang disodorkan Pak Rifky tadi.

"Oh ya, kamu sudah baca buku yang saya tinggalkan di mejamu kemarin?" sambung Pak Rifky tiba-tiba.

Tangan Tia yang sudah memegang handle pintu jadi terhenti di udara. Ia pun berbalik, setengah tak percaya mendengar pertanyaan Pak Rifky barusan.

"Jadi buku itu dari Bapak, ya?" Tia menatap takut-takut lelaki yang berada beberapa meter di hadapannya tersebut.

"Iya, gimana sudah dibaca? Kamu suka isinya?" Tubuh Pak Rifky mendadak terlihat lebih rileks sekarang. Malah agak dicondongkan ke depan seolah antusias mendengar jawaban yang akan Tia sampaikan.

"Eh? Oh, sudah, Pak. Tapi baru sedikit. Bagus bukunya, Pak." Tia dapat mendengar jika suaranya bergetar saat mengucapkan kalimat barusan. Entah karena apa. Malah kini ia sudah menunduk menatap ke arah lantai. Tak sanggup rasanya melihat mata elang beriris hitam tersebut berlama-lama.

"Syukurlah kalau kamu suka. Tadinya itu untuk adik saya, yang mau saya kirim bareng buku anak-anak ke kampung. Karna adik saya mengelola taman bacaan di sana." Tanpa diduga Pak Rifky kini sudah tersenyum ceria.

"Oh, begitu. Makasih ya, Pak, bukunya. Salam untuk adik Bapak," jawab Tia yang akhirnya memberanikan diri memandang seraya membalas senyum Pak Rifky. Mungkin karena melihat atasannya yang bersikap bersahabat terlebih dahulu.

Tatapan mereka beradu sejenak. Sebelum akhirnya Pak Rifky menundukkan pandangan dan berkata dengan nada kembali seperti biasa, "Oke, saya masih banyak pekerjaan. Silakan kembali ke ruanganmu."

[TERBIT] Secret Admirer Where stories live. Discover now