Bab 23 - Izinkan Saya Menikahi Tia

613 76 8
                                    

Rifky terduduk di kursi tunggu koridor rumah sakit. Wajahnya tertunduk dalam dengan dahi berkerut, pertanda ada hal yang mengganggu pikiran. Kegundahan dan keresahan memenuhi semua sel dalam tubuhnya.

Dimas mendekat dan duduk di sisinya. Wajah mereka sama-sama kusut. "Lu kenapa nggak masuk, Ky?" tanya Dimas yang hanya dijawab dengan gelengan pelan. Dimas menarik napas panjang.

"Lu harus ke dalam, Ky. Gimana pun juga lu harus masuk. Biar cuma sebentar. Apa kata orangtuanya nanti." Dimas masih berusaha membujuk Rifky. Namun, Rifky lagi-lagi tak menjawab ucapan Dimas.

"Polisi tadi udah pergi?" tanya Dimas kembali. Ia rupanya belum menyerah membujuk Rifky untuk berbicara.

"Udah," jawab Rifky akhirnya membuka suara, setelah diam terpaku selama hampir dua hari ini.

"Masuk, yuk. Gue temenin."

"Gue nggak sanggup, Mas. Lu pikir gue tega liat dia terbaring lemah gitu, setelah semua yang gue lakuin?" ujar Rifky lemah.

"Semua bukan salah lu, Ky. Semua udah kehendak Allah. Lu nggak bisa terus-terusan nyalahin diri lu kayak gini," nasihat Dimas.

"Lu tahu, Mas? Dulu, bokap gue pernah koma berhari-hari. Gue nggak sempat-sempat jenguk karena sibuk persiapan Ujian Nasional sama pekan olahraga sekolah. Setelah UN, gue baru bisa ke rumah sakit, dan lu tahu apa yang terjadi? Bokap gue pergi dengan tenang. Padahal selama ini bokap selalu nunjukin progress yang baik, biarpun dalam kondisi koma. Sampai sekarang gue masih berpikir andai gue nggak datang ke rumah sakit, pasti bokap masih bertahan."

Dimas terdiam mendengar penjelasan Rifky. "Kok lu egois sih, Ky? Lu lebih senang lihat bokap lu nahan sakit terus-terusan? Dengan pergi, setidaknya bokap lu terbebas dari sakit. Iya, kan?"

Gantian Rifky yang terdiam sejenak. "Gue khawatir hal yang buruk bakal terjadi sama Tia."

"Nggak. Insya Allah Tia pulih. Percaya deh. Kemarin udah bisa turun dari kasur, kok."

Netra Rifky mengerjap menatap Dimas yang mengangguk pelan, meyakinkan teman baiknya bahwa kondisi Tia memang baik-baik saja.

"Makanya lu lihat langsung dong. Nggak enak, kan, sama orang tuanya. Lu doang yang belum masuk."

**

Pelan Rifky membuka pintu seraya mengucap salam. Di dalam tampak Tia baru saja keluar dari kamar mandi dibantu sang ibu. Keduanya langsung menoleh sambil menjawab salam. Dapat dilihat jika wajah gadis yang memakai piyama itu masih tampak sedikit pucat, tapi senyum tipis yang tersemat di bibirnya membuat perasaan Rifky sedikit tenang.

"Sini masuk, Nak Rifky. Tia udah lebih sehat, kok," sapa Mama sambil membantu puterinya naik ke ranjang.

Perlahan Rifky mendekat dan duduk di kursi terdekat. Mengamati bagaimana gadis di depannya mendesis pelan kala menarik tubuhnya untuk bersandar di kepala ranjang. Namun, sekejap kemudian wajahnya sudah kembali seperti biasa. Rifky melihat kejadian tersebut tanpa berkedip sebelum akhirnya menunduk dengan perasaan yang entah.

"Kata dokter, Tia beruntung, pisaunya hanya mengenai limpa. Jadi, tidak perlu operasi, cukup jahit luka luar saja. Sebentar lagi juga pulih," ujar Mama menjelaskan kondisi Tia. Rifky hanya tersenyum tipis menanggapi sambil menghela napas panjang.

"Kondisi Nak Rifky sendiri gimana? Proses hukum sudah selesai semua, kan?" tanya Mama yang kini sudah duduk di sisi puterinya. Menatap Rifky penuh perhatian.

"Alhamdulillah, nggak apa-apa, Bu. Proses hukum juga sudah kelar. Ferdi masih dalam pengejaran tapi Rendi sudah ditangkap."

Tiba-tiba saja tubuh Tia menegang dengan napas yang berubah menjadi cepat. Jemarinya meremas piyama kuat-kuat. Tanpa diduga air mata mengalir pelan di pipi. Tapi tak ada satupun kata yang terucap.

[TERBIT] Secret Admirer Where stories live. Discover now