Bab 26 - Pinangan

493 62 18
                                    

Terdengar ketukan pelan di pintu. Sedetik kemudian wajah Mama muncul di ambangnya dan tertegun sejenak saat memasuki kamar. Mendekati puteri tercinta yang terpaku di meja rias, terdiam seraya menatap cermin.

"Tia belum ganti pakaian? Keluarga Rifky sudah datang, loh," Mama mengusap rambut Tia lembut. Sementara Tia masih tetap tak bergeming. Gamis biru muda yang sudah disiapkan Mama masih tergantung di pintu lemari.

"Kenapa, Tia? Ada masalah apa?" lanjut Mama dengan raut khawatir mulai memenuhi benaknya.

"Apa ini nggak terlalu mendadak, Ma ...?" lirih Tia.

Mama menarik napas panjang. Kembali mengusap rambut Tia lembut. Ia paham apa yang berkecamuk di hati puteri satu-satunya ini. Di satu sisi gadis ini masih sangat muda, sementara di sisi lain tak memiliki alasan untuk menolak laki-laki baik yang datang.

"Mama percaya Nak Rifky laki-laki yang baik. Mama juga yakin, dia bisa menjaga dan membahagiakan Tia. Terlebih, naluri Mama bilang kalau Nak Rifky memang jodoh Tia," tegas Mama.

Tia terhenyak. "Naluri? Sejak kapan Mama punya naluri kalau dia jodoh gue? Apa karena ini sikap Mama sangat welcome sama Pak Rifky? Apa ini yang dimaksud naluri seorang ibu setajam pedang?" batin Tia berbicara. Mencoba mengartikan setiap ucapan Mama.

"Kalau memang Mama sudah begitu yakinnya, lalu alasan apa yang buat gue masih ragu?" batin Tia mengingatkan. Lantas mengucapkan istighfar pelan.

"Tapi, Ma ... kuliah Tia?" ucap Tia terbata.

"Suami yang baik, nggak akan pernah menghalangi gerak istrinya selama masih ikut aturan Allah. Tia nanti bilang aja langsung sama Nak Rifky, ya," sahut Mama yakin. Tia menatap Mama dengan haru, kemudian memeluk dan mencium pipi ibunda tercinta.

Tia bangkit lalu berganti pakaian. Mengenakan gamis biru muda pemberian Rifky. Kemudian memakai pashmina instan warna senada, dengan bros kecil yang disematkan di dada. Mama tersenyum melihat penampilan puterinya lalu menggandeng Tia menuruni anak tangga perlahan.

Digenggamnya tangan puteri satu-satunya erat. Menyalurkan kekuatan yang saat ini dibutuhkan Tia untuk melangkah menuju babak baru kehidupannya. Ia percaya Tia mampu menjadi pendamping yang baik bagi Rifky.

Tia menempati kursi tunggal di sisi Papa. Lalu di kursi sebelahnya ada Mama yang berdampingan dengan Papa. Sementara tepat di hadapan Tia ada Rifky, ibu dan adiknya, serta Pak Ali yang saat ini bertindak mewakili ayahanda Rifky. Entah seperti apa perasaan Tia kala itu, ia hanya menunduk sembari meremas jemarinya.

Papa menjelaskan lagi pada Tia maksud kedatangan Rifky sekeluarga. Kemudian meminta pendapat dan jawaban dari Tia langsung. Tia menyimak semua penjelasan Papa dengan baik, seraya berdoa dalam hati agar diberi kekuatan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya dan masa depannya kelak.

Setelah Papa selesai menjelaskan, situasi menjadi hening. Semua pasang mata menatap ke arah Tia, menanti jawaban yang akan ia berikan. Termasuk Rifky yang sebelumnya menunduk, kini menatap cemas gadis di hadapannya. Menata kembali hatinya, jika ternyata jawaban Tia adalah tidak. Mengikhlaskan apapun ketetapan Allah.

"Saya terima apapun keputusan Tia. Jika memang Tia tidak berkenan, tidak masalah. Saya ikhlaskan, selama itu membuat Tia bahagia," ujar Rifky pelan.

Demi melihat tatapan lembut Rifky, Tia seolah mendapat kekuatan baru. "Boleh saya tanya satu hal ke Bapak? Apa saya masih diizinkan untuk melanjutkan pendidikan? Karena saya sudah janji pada Mama dan Papa untuk membuat mereka bangga suatu hari."

Rifky tersenyum lembut dengan netra yang tetap mengarah pada Tia. "Kamu lupa apa yang saya tanyakan saat pertama kali kita bertemu? Saya tanya, kenapa kamu nggak lanjut kuliah. Saat itu kamu bilang nggak ada biaya, jadi kamu mau bekerja dulu sambil nabung untuk biaya kuliah. Lalu lihat semangat kamu saat bekerja, benar-benar sayang rasanya kalau kamu nggak jadi kuliah. Masa depan kamu masih panjang."

[TERBIT] Secret Admirer Where stories live. Discover now