Bab 24 - Trauma

584 71 7
                                    

Hampir sepekan sudah, Tia berada di sini. Rasa jenuh sudah bertumpuk dalam dada. Apa daya, dokter belum memberi izin untuk pulang. Meski ia sudah mampu melawan sakit yang masih sering muncul. Bahkan sejauh ini sudah mampu duduk tanpa bantuan orang lain. Bolak balik ke kamar mandi pun ia sudah mahir.

Beberapa kali polisi datang untuk meminta keterangan. Bahkan menawarkan untuk visum, tapi ditolak Tia dengan halus. Karena jika boleh memilih, ia ingin masalah ini ditutup saja. Lelah rasanya menghadapi semua. Ia ingin tenang. Menjalani hidup seperti dahulu. Menjadi Tia yang bebas menjadi diri sendiri.

Kerinduan sudah menggumpal di benaknya. Rindu teman-temannya, pekerjaannya, kamarnya, bahkan seluruh kehidupannya. Namun, entah akan seperti apa hari-hari yang akan dijalaninya kelak, jika sampai saat ini saja ia masih kerap bermimpi buruk tentang hari itu.

Saat Rendi memaksa untuk menyentuhnya, bahkan menarik bajunya hingga sobek saat ia hendak lari. Belum lagi beberapa kancing yang terlepas saat Rendi memaksa melepas pakaiannya, membuat teriakannya tak berarti kecuali menambah besar keinginan lelaki itu terhadapnya. Sudah tak terhitung berapa banyak pukulan, cakaran dan makian yang Tia lontarkan pada Rendi, tapi tak mudah menyadarkan orang yang sudah dikuasai nafsu. Rendi masih berusaha menjamahnya, memeluk, mencium dan merampas kehormatannya sebagai seorang wanita.

Beruntung di detik-detik terakhir, sebelum pakaiannya benar-benar tanggal, panggilan Ferdi terdengar. Membuat Rendi menyudahi kegiatannya dan berlalu dari sana. secepat kilat Tia meraup kerudungnya yang sempat luruh ke lantai. Tak tahu harus bersyukur atau menyumpahi, yang jelas hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Beruntung ia memiliki keluarga dan teman-teman yang begitu baik yang selalu mendukungnya dalam kondisi apapun. Membuat pikirannya perlahan kembali waras, meski terkadang was-was dan kecemasan berlebih tetap menghantui. Bahkan tak jarang ia sering berteriak dalam tidurnya. Sayangnya, Tia jelas-jelas menolak saat dokter menyarankan untuk bertemu seorang psikolog dengan alasan yang tak pernah diungkapkannya.

Tia hanya berharap kelak bisa melupakan semua yang terjadi dengan menjalani kehidupan seperti sedia kala. Hingga terasa kejadian mengerikan itu tak pernah terjadi. Ia yang selama ini berprinsip untuk tidak pacaran sebelum menikah, mungkin saat ini akan berpikir puluhan kali untuk dekat dengan lawan jenis.

Namun, bagaimana dengan Pak Rifky? Lelaki yang sudah jelas-jelas meminta izin untuk menikahinya pada sang ibu? Ah, apa kata dunia andai ia benar-benar menikah dengan atasannya tersebut? Pasti semua akan mengira jika ia yang menggoda Pak Rifky seperti gadis-gadis yang sengaja cari perhatian di kantor.

"Kalau kamu bengong begini di kantor, sudah pasti langsung dikasih Surat Peringatan deh."

Demi mendengar perkataan barusan, Tia menoleh perlahan ke arah sumber suara. Tampak lelaki yang baru saja dipikirkan kini sudah menjelma di ruangan ini, mendekat dengan tangan berisi parsel berisi buah-buahan. Tanpa diduga rasa panas perlahan menjalar di wajah, membuat Tia merasa malu karena sudah berani memikirkan lelaki ini.

"Mamamu mana?" tanya Rifky seraya meletakkan parsel tadi di nakas sebelah ranjang. Menoleh ke kanan dan kiri, seolah mencari sosok wanita yang tak pernah jauh dari puterinya ini.

"Ma-mama dipanggil dokter tadi," jawab Tia dengan suara bergetar. Ia sendiri kaget mendengar perubahan suaranya, begitu pula dengan Rifky yang langsung melihat tajam ke arahnya.

"Kenapa, Tia? Saya nggak ganggu, kan?"

Cepat Tia menggeleng. "Ng-nggak, Pak. Terima kasih … bingkisannya," jawab Tia dengan menunduk dalam-dalam. Tak punya nyali untuk melihat ke arah pria yang tersenyum sambil menarik kursi yang berada di sebelah ranjang ke belakang lalu duduk di sini. Seolah sengaja memberi jarak antara mereka.

[TERBIT] Secret Admirer Where stories live. Discover now