Bab 14 - Bimbang

477 72 12
                                    

Pagi ini rasanya menjadi hari paling tak bersemangat untuk Tia. Biarpun telah libur sehari, tapi tetap saja kejadian kemarin lusa masih terbayang dengan jelas. Membuatnya ingin kembali mendekap guling dan memejamkan mata.

Kalau bukan karena Mama yang sudah beberapa kali menengok ke kamar, mungkin Tia akan benar-benar terlelap kembali. Jadilah dengan enggan ia beranjak ke kamar mandi. Berpakaian seadanya, hanya tunik dengan celana kulot serta kerudung instan.

Begitu pun saat tiba di bawah, ia segera mengajak Papa berangkat. Mengabaikan sarapan yang sudah disediakan Mama. Begitu pula saat di perjalanan, Tia sama sekali tak banyak bicara. Bersama Mirna, yang biasanya ia akan bercerita segala hal, saat ini ia hanya terdiam ibarat ayam sakit. Hanya memandang keluar jendela dengan enggan.

"Tia, kamu nanti ke ruangan saya, ya," ujar Rifky yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang Tia kala mengantre turun dari bus. Namun, Tia hanya menghela napas tanpa ada kata terucap. Padahal batinnya sedang riuh berdebat, apakah akan mengiyakan ucapan Rifky atau mengabaikannya.

"Tia?" ulang Rifky saat tak mendengar jawaban dari gadis di depannya.

"Iya."

Hanya itu kata yang terucap dari Tia sebelum akhirnya mereka berpisah. Tia yang menuju ruang HRD bersama Mirna saling bertatapan kala mendengar ada suara orang bercakap-cakap di dalam.

"Ada tamu kayaknya," bisik Mirna yang langsung disetujui Tia. Maka mereka masuk dengan perlahan, tak ingin mengganggu Pak Indra serta tamunya.

"Pagi, Pak," sapa Tia dan Mirna hampir bersamaan. Pak Indra menjawab sapaan tersebut seraya menitip pesan pada Samsu untuk membuatkan minuman untuk tamu yang berpakaian formal tersebut.

Sayangnya, Tia tak menemukan Samsu di manapun. Akhirnya ia sendiri yang membuatkan minuman untuk Pak Indra dan tamunya. Sekembali dari pantry, ia berpapasan dengan Rifky yang baru turun dari atas. Mata keduanya bertemu. Lelaki itu menatap Tia dengan pandangan yang sulit dimengerti. Ada marah, sedih, kecewa, harap melebur jadi satu pada tatapan itu. Tia memilih mengalihkan pandangan dan segera masuk dengan nampan berisi dua cangkir kopi.

"Loh, Samsu ke mana?"

"Lagi keluar kayaknya, Pak."

"Makasih, ya." Pak Indra mengambil nampan dari tangan Tia dan meletakkannya di meja. "Silakan diminum, Pak."

"Makasih, Pak. Hmm ... jadi, saudara Rifky sebelum diangkat sebagai General Manager, dulunya adalah staff marketing, ya."

Tia kembali ke mejanya sambil memasang pendengarannya baik-baik. Tak ingin melewatkan apapun karena siapa tahu ia akan ikut ditanyai juga setelah ini. Terlebih ia masih syok dengan perkataan Pak Indra kemarin tentang uang payroll puluhan juta.

"Betul, Pak. Prestasi kerjanya sangat baik, wajar jika ia cepat mendapat promosi. Pak Ali sangat percaya padanya."

"Masa kerja berapa tahun, Pak?"

"Delapan tahun ini, Pak. Magang tiga bulan, lalu dilanjut karyawan kontrak selama setahun di divisi marketing. Lalu promosi jadi Supervisor, Asisten Manager, lalu Manager marketing, Asisten General Manager dan terakhir posisi sekarang, General Manager," jelas Pak Indra panjang lebar.

"Hmm … apa pernah ada kejadian penggelapan dana sebelum ini, Pak?"

"Seingat saya baru sekali, Pak. Itu juga beberapa tahun yang lalu, pelakunya sendiri sudah mengundurkan diri."

Deg!

Hati Tia bagai berhenti berdetak. Terkejut dengan yang baru saja didengar. "Pelaku penggelapan dana perusahaan sudah mengundurkan diri? Mungkinkah orang itu …?" batin Tia menerka-nerka.

[TERBIT] Secret Admirer Where stories live. Discover now