Chapter 9

84 46 217
                                    

Chapter 9

19 September 2013

Pada akhirnya, mereka bersekolah di SMP yang sama, yakni SMP Arjuna Jakarta. Salah satu sekolah yang terbilang cukup eksis. Banyak sekali alumni yang menorehkan berbagai prestasi di Bidang Seni, apalagi di seni musik. SMP Arjuna terkenal karena selain akreditasi sekolahnya bagus, alumni yang menyebar di semua sektor bahkan pemerintahan, sekolah ini juga memiliki fasilitas yang cukup menunjang proses belajar siswa. Tak ayal jika 91% murid di sekolah ini sangat berprestasi.

Sore itu, sekolah masih saja ramai dengan banyaknya kegiatan ekstrakurikuler yang berlangsung.

Sejak memasuki SMP Arjuna, Angga sudah sangat sibuk dengan kegiatan OSIS yang diikutinya. Tahun lalu, ia mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) di Malang, Jawa Timur. Ia cukup aktif hingga memperoleh jabatan sebagai Bendahara I.

Nyaris setiap harinya, sejak MOS berlangsung, sekolah ini sudah seperti rumah kedua bagi Angga. Ketika mengikuti jam pelajaran, ia sering mendapat dispensasi untuk rapat atau lomba teater. Lalu, di lain kesempatan, Angga juga akan sibuk mengurus proker dan berlatih basket di sore harinya. Tak sampai di situ saja, malam harinya Angga terkadang harus kembali rapat di rumah salah satu temannya guna membahas hal-hal yang menurut Angga, bisa didiskusikan melalui BBM.

Super sibuk.

"Ngapain, Bro?" itu Putra—teman semasa SD yang juga bersekolah di SMP Arjuna. Ia menyenggol pundak Angga yang duduk di tepi lapangan basket sekolah, di bawah pohon berdaun lebat yang rimbun. Angga tengah menyeruput sodanya.

Putra lalu duduk di sampingnya, berniat mengambil kaleng soda di genggaman Angga, namun tak berhasil. "Alah pelit banget jadi manusia."

Angga bergeming.

"Gue tadi nembak cewek," kata Putra.

Angga mendengus. Ini sudah kalimat keempat yang diucapkan Putra lima bulan terakhir. Cowok itu tidak mengerti, kenapa Putra gampang sekali jatuh cinta, entah apakah masih bisa dibilang jatuh cinta, intinya Angga sangat heran bagaimana Putra bisa secepat itu bergonta-ganti pacar.

Wajah muram Putra terlihat jelas. Angga mengira, cowok itu ditolak. "Lagi?"

Putra mengangguk. "Namanya Veronica. Cantik, gue udah ngincer dari bulan lalu."

Padahal bulan lalu Putra masih berpacaran dengan Insyani.

"Jadian?" Tanya Angga.

"Dasar, bego." Putra mendorong sedikit punggung Angga hingga cowok itu melempar tatapan mematikan. Ia lalu memperbaiki posisi duduknya sambil terus memandang ke arah lapangan yang luas dengan banyaknya manusia tengah melakukan aktivitas masing-masing.

Ramai.

Putra lalu terkekeh, "Sorry." Sekarang, tubuh Putra tidak sekecil atau sekurus dulu. Badannya cukup tinggi, hampir menyamai Angga yang sejak lulus, tingginya bagai pohon bambu, menjulang tinggi. Putra mengikuti ekstrakurikuler futsal, itulah mengapa badannya cukup atletis untuk ukuran anak SMP. Cowok itu lalu menyandarkan badan ke batang pohon. "Iya, gue jadian sama Veronica. Tapi dia minta satu syarat."

Syarat? Angga tidak mengerti.

"Gue harus jemput dia ke sekolah, terus nganterin dia pulang sekolah."

Menurut Angga, Putra bisa menyanggupi hal itu karena ia orang cukup berada. Sehari-hari, Putra diantar oleh supir pribadinya. "Masalahnya di mana?"

Pundak cowok di samping Angga itu melengos, "Masalahnya, dia anak strict parents abis. Gimana kalo gue mau jalan sama dia. Susah ijinnya."

"Dasar!" cowok itu terkekeh. Cinta monyet membuat temannya nyaris gila, menurut Angga.

I Am PlutoWhere stories live. Discover now