Chapter 17

16 9 5
                                    

Chapter 17

17 April 2020

"Kasih tahu Mama, Mama harus apa, Angga!" lirih Sofia. Wanita paruh baya itu terduduk lemas. Menggedor pintu hitam besar dengan sisa-sisa kekuatannya. "Angga... buka pintunya, Nak."

Detik setelahnya, batas pembeda ruangan itu terbuka, lebar, menampakkan sosok tinggi besar dengan wajah letih, mata memerah, rambut berantakan, dan bibir bergetar. Angga berjalan lemas, melewati tubuh kecil ibunya. Duduk dengan segala rasa yang berkecamuk dalam dada.

Sofia melirik. Tangisnya kembali pecah, namun yang terlihat hanyalah deraian air mata tanpa suara. "Angga?"

"Jangan sebut-sebut nama itu."

Wajah Sofia semakin hari semakin tirus. Rambut hitam legamnya tak lagi cantik bergelombang. Kini berubah menjadi warna cokelat. Badannya semakin lemah. Wanita itu melihat Angga—anaknya—dengan senyum penuh penyesalan.

Di hadapannya, Angga enggan menatap karena segalanya terasa gelap. Kini, yang tersisa hanyalah seribu masalah. "Anda pergi dari sini. Tinggalkan semuanya, termasuk Angga."

"Maafkan Mama..."

Angga tersenyum kecut. Kecurigaannya selama beberapa tahun terakhir ternyata tidak salah. Dua tahun yang lalu, setelah Shena mengantarkannya pulang, ada suara gaduh dari kamar utama rumah bercorak minimalis itu. Dengan langkah pelan, Angga mencoba mengusir semua prasangka yang mulai ada dalam benaknya. Orang tuanya bertengkar. Usai keduanya berbaikan, Angga kira semua masalah akan selesai. Namun naasnya, hubungan yang dibangun bertahun-tahun tidak cukup mampu mengembalikan cinta dari benak Mama dan Papa. Orang tuanya berselingkuh. Entah siapa yang memulai, yang jelas, Angga mengetahui bahwa kini, Papa sudah menikahi wanita lain dan angkat kaki dari negara ini. Sedangkan Mamanya, berniat pergi, menghilang dari muka bumi dengan pria yang Angga yakini hanya cinta materi.

Sofia berusaha menggerakkan kakinya mendekati anak sematawayangnya, mencoba memeluknya namun segera Angga tepis. "Pergi!"

"Maaf... Mama salah. Papa salah. Kami tidak cukup baik menjadi orang tua bagi kamu."

"Kalian gagal jadi pasangan ataupun orang tua." Laki-laki itu menatap nanar. Pergi menatap pemandangan luar. Rumah luas yang dibangunnya dari hasil jerih payah untuk terus menyatukan dan menyalurkan kehangatan nyatanya berubah sesak, seakan ingin meledak. "Apa salahku, Mah...?" suara itu, parau.

Setetes air mata kembali mengucur bebas dari pelupuk netra Sofia. "Tidak ada. Kamu anak Mama satu-satunya. Angga anak baik, sangat membanggakan orang tua—"

"Lalu kenapa tidak cukup bagi kalian? Apa yang sebenarnya kalian butuhkan? Angga pernah bilang berkali-kali, jangan pernah kembali ke masa lalu. Kenapa Papa memutuskan untuk pergi ke reuni itu?" Angga memotong ucapan itu dengan ribuan pertanyaan lain yang tertahan di bibir. "Reuni SMA sampah! Kisah yang belum selesai harusnya dibuang jauh-jauh. Kenapa perlu repot-repot kembali membuka lembaran lama yang sudah usang dan sepatutnya hanya dikenang? Bangsat!"

Reuni SMA yang katanya untuk saling berbagi tawa, berbagi kabar, mempererat tali silaturahmi dan wadah saling melengkapi kenangan, bagi Angga adalah sebuah malapetaka bagi keluarga kecilnya. Seharusnya, malam itu, Papa tidak datang dan bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Mama, seharusnya tidak membalas dengan memiliki laki-laki lain lagi.

Bagaimana pun mau dicerna, keluarganya sudah hancur. Semuanya lebur.

"Angga..."

"Cukup. Pergi dari sini. Semua yang ada di sini akan aku bakar. Tidak akan ada kenangan yang tersisa bagi kita. Keluarga Saputra sudah mati."

I Am PlutoWhere stories live. Discover now