Chapter 3 : Dia yang dianggap sampah (3)

792 101 14
                                    

Plak!

Aku tersenyum jahat, tersenyum seakan aku puas dengan hal itu dan tidak menunjukkan tanda-tanda merasa bersalah.

Liam, sang protagonis memegang tangannya yang sedikit merah, memang kupukul agak keras agar bisa memberikan kesan penjahat ala-ala di novel. Anak itu menggigit bibirnya. Pastilah dia merasa geram denganku. Yah, mungkin aku akan didorong ke danau hingga basah atau ditampar pada pipi hingga berdarah karena kekesalannya. Tapi itu setimpal, setimpal dengan apa yang akan terjadi di masa depan.

Kebebasan. Kalian paham kan dengan yang ku maksud?

"Tuan..."

Ya, katakan saja. Ucapkan saja. Kata-kata jahat atau kata-kata kecewa dengan tindakanku ini. Dia sudah menjagaku semalaman, memberikan jubahnya agar aku tidak kedinginan. Tapi malah ini yang ia dapat. Peri kabur, tangan terpukul. Pastilah ia haus mengumpat. Aku tersenyum miring, menanti apa yang akan keluar dari mulutnya.

"Anda benar-benar kasihan...!"

"Eh?"

"Anda... Anda pasti melakukan ini agar saya segera melakukan tugas saya dan membiarkan anda sendiri, di tengah hutan ini. Anda benar-benar berhati malaikat. Anda sampai berpura-pura jahat agar saya sadar akan kelambatan saya. Sungguh... Saya sebenarnya tak mau meninggalkan anda begini, tuan. Kasian sekali anda...."

Tidak, tidak. Kenapa kamu malah kasihan? Kepada aku yang telah menghilangkan peri itu? Kepada aku yang telah memukul tanganmu sampai memerah seperti itu? Kenapa kamu harus kasihan?

Ah, kalau difikir-fikir lagi sebenarnya protagonis kita ini adalah manusia baik dan murni dari dosa pada awal cerita. Aku tahu itu, tapi tidak begini juga. Dia tidak mikir ya kalau aku sekarang sedang mengejeknya?

"Hei, tampan!"

"Anda tidak perlu memuji saya seperti itu, tuan... Saya mengerti."

Agh, sial! Dia membuatku naik darah. Niat hati ingin mengejek, kenapa malah memuji sih?

"Tidak, hei, jelek!"

"Eh?"

Ya begitu. Buatlah muka seperti itu. Muka yang seakan-akan terhina dan terkejut. Aku akan membuatmu marah sehingga kamu tak mau lagi menatap wajahku. Liam, sang protagonis.

"Dengar ya! Aku selalu muak melihat wajah jelekmu itu!!"

Bagaimana? Kamu marah? Kita baru bertemu. Kamu sudah baik denganku tapi aku malah menjahatimu. Maaf kalau aku bohong soal wajah tampanmu, tapi aku harus membuatmu melupakan pertemuan ini secara natural. Liam, kamu harus kesal!

"Dengar ya, bro. Kamu telah salah karena membantu aku! Aku ini adalah perampok paling terkenal sejagad raya. Melihat wajahmu membuat aku kesal, mampus sudah peri yang mau kau incar itu. Haha, bagaimana? Sekarang kamu kehilangan targetmu! Dan aku akan merampokmu!"

"Tapi tuan... Saya tidak membawa apapun selain pedang."

Liam menundukkan wajahnya, terus menjawab pertanyaanku dengan nada rendah hingga membuat merinding. Sial, aku harusnya tahu. Orang paling menakutkan saat dibuat marah adalah orang baik yang sabar.

"Oh, ya? Pedang juga tak apa. Lagipula, pedangmu kelihatan mahal tuh?"

Pria itu menggigit bibirnya, tenggelam dalam kesunyian dan perlahan-lahan merenggut. Maaf ya Liam, kamu harus ku buat marah sampai sebegininya untuk masa depanmu. Tidak seperti masa depanmu yang cerah, aku tidak menemukan masa depanku disini. Semuanya buram, tak tentu arah. Itulah mengapa, aku harus sigap dan menentukan arahku selanjutnya.

"Nah, mana pedangnyaa... Aku bisa menjual pedang itu kalau sudah keluar dari hutan ini..." Nyinyirku kepada Liam.

Anak itu terus menunduk. Aku tahu, protagonis kita akan menunduk kalau marah ataupun sedih. Itu kebiasaannya sejak lampau. Emosinya yang sedih atau marah itu tidak ingin ia nampakkan kepada umum. Itulah mengapa dia menunduk, berusaha menutupi emosi yang bergejolak dan muncul lewat wajahnya. Aku terus nyinyir dan memaksa Liam memberikan pedangnya padaku.

Lord Who is Considered TrashOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz