Chapter 7 : Dia yang dianggap sampah (7)

597 90 6
                                    

Tok! Tok! Tok!

Tok! Tok! Tok!

"Ah, ini mah tidak mungkin. Orang itu mungkin sudahi mati."

"Kenapa kamu langsung berkata seperti itu? Ada baiknya kalau kita cek dulu... Ayo masuk.."

"Kamu gila? Aku tidak mau mati juga. Kamu saja masuk sendiri!"

Kedua pria muda saling berpandangan, sejujurnya, walau yang satu ingin mengecek keadaan, dia juga dalam keadaan takut yang tidak pasti. Tapi bagaimanapun mereka sudah jauh-jauh kemari untuk dibayar, maka sayang kalau mereka tidak bekerja.

"Uh... Yaudah, aku masuk sendirian."

Temannya mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh dia untuk pergi. Iya kali dia mau ikut temannya yang gila ini. Walau dibayar, dia tidak datang untuk menyerahkan nyawa.

Klik.

"Permisi..."

Temannya membuka pintu, walau rumah yang mereka masuki ini adalah rumah yang cukup besar, namun entah gerbang depannya dan pintu masuknya tidak dikunci sama sekali. Ia bisa melihat bahwa ruangan pertama yang ia masuki terlihat begitu bersih nan rapi, ternyata mereka tidak salah masuk. Maksudnya, kalian disuruh bekerja di rumah kosong dengan penampakan luar menyedihkan seperti itu, katanya ada orang yang menyewa di dalam. Untuk menentukan rasa percaya, hanya ini yang bisa lakukan.

Ruangan pertama bersih, sungguh bersih. Tidak ada debu barang hanya secuil. Sepertinya penyewa rumah ini adalah pria yang rajin.

"Permisi... Saya datang untuk bekerja.. Eh?!"

***

Kepala saya terasa sakit, sudah pukul berapa sekarang? Saya tak tahu. Kalau dipikir lagi disini tidak ada jam juga. Saya hanya melihat keadaan langit untuk menentukan waktu. Kepala saya cenat-cenut. Pandangan saya kabur, namun mendadak semua gelap, hitam, dimensi tak terbaca seakan berada di angkasa. Saya termangu, lantas mendengar pertanyaan,

"Apakah kamu memiliki penyesalan?"

Itu pertanyaan bagus. Apakah saya punya penyesalan? Tidak? Kalau diulik kembali, kalian pasti tahu, adik-adik saya sudah sukses di dunia sana. Yang tertua sudah bekerja, yang tengah kuliah di universitas ternama, sedangkan yang paling muda mendapati pendidikan di sekolah bagus pula. Tidak ada yang perlu saya sesalkan bila saya meninggalkan mereka. Saya yakin mereka bahkan sudah mampu untuk makan di restoran mewah, sama seperti yang mereka rasakan dahulu saat masih ada kedua orang tua.

Tidak ada yang saya sesalkan, bahkan disaat saya dikirim dalam hidup susah melarat untuk kedua kalinya. Bahkan disaat status saya sedang buruk saat ini. Pangeran sampah yang sampai dibuang ke hutan, kalian kira seberapa buruk sikapnya sampai dibuang seperti itu? Saya yakin kalian sendiri paham.

Tapi bagaimanapun saya telah berpaku pada satu prinsip, menjalani hidup tanpa berputus asa.

Putus asa itu wajar, karena saya juga manusia. Tapi bagaimana saya mengatasi keputusasaan itulah yang harus saya tekatkan. Manusia adalah mahkluk lemah, saya adalah salah satunya, dihadapan kenyataan, saya langsung paham. Semuanya butuh perjuangan, tidak ada yang gratis.

Karena itulah, mahkluk lemah seperti saya terus berjuang dan berjuang. Saya sayangnya tidak terlahir dengan kelebihan, maupun kemampuan, atau bahkan bakat. Saya zonk besar. Satu-satunya yang bisa saya gunakan hanya otak saya. Entah dipramuka, maupun diakademik.

Saya memacu otak saya untuk pintar walau harus kesakitan, saya bodoh, tidak jenius atau semacamnya. Namun saya harus pintar, karena saya tidak punya kelebihan maupun bakat. Saya bekerja dengan kedua tangan dan kaki saya sendiri untuk mengukir dan mengecat diri saya. Saya menyampul diri saya dengan sampul yang bagus, sehingga walau dalamnya biasa saja atau bahkan buruk, orang-orang tidak akan terlalu kecewa.

Lord Who is Considered TrashWhere stories live. Discover now