Chapter 5 : Dia yang dianggap sampah (5)

600 98 12
                                    

Aku masuk melewati rerumputan, meninggalkan mereka dan masuk ke dalam rumah. Persetan dengan kebersihan, kali ini aku harus berteduh. Guntur sudah menyaut lantang di langit. Awan terus bergerombol seakan ada gosip yang siap dibicarakan. Mereka akhirnya membentuk warna abu-abu gelap yang membosankan.

"Ah, mereka harus benar-benar mengirim petugas kebersihan." Celotehku.

Aku sudah terbiasa dengan rerumputan, karena sebelumnya aku tinggal di hutan. Tapi disini kita di kota. Mengeluh bukan masalah.

"Awas saja kalau tidak dikirim, besok."

Kali ini saya akan membersihkan rumah semampunya, kamar tidur adalah ruangan yang wajib aku bersihkan terlebih dahulu. Saat memasuki rumah itu, saya membuka dengan kunci, dan melihat lampu menggantung usang yang terlihat tidak kolot. Lampu itu terlihat ditinggal sekitar 4 atau 6 bulan-an. Jadi kotor sekali, tapi masih bagus.

Saya menghidupkan lampu, naik ke lantai atas melewati tangga penuh debu. Untung saya mengenakan selop, jadi kaki saya tidak harus menapaki tumpukan debu. Sepertinya bapak itu tidak merawat rumah ini sama sekali, bahkan saat ia mau menyewakan rumah ini kepada pelanggan. Penjual yang buruk sekali.

Saya menemukan ruang makan dengan meja panjang, menemukan dapur, ruang tamu, ruang kerja, ruang keluarga, dan ruang-ruang lainnya bahkan gudang bawah tanah. Serius, ini luas sekali. Untuk dijual dengan harga murah ini cukup mencurigakan. Saya menatap tipis, pasti ada sesuatu yang mereka bungkam untuk katakan kepada saya.

Saya mencari sapu, mengambilnya dan masuk ke kamar tidur. Saatnya bersih-bersih.

"Heh, ini akan melelahkan."

Tapi mudah. Saya sudah melakukan ini ratusan kali lebih banyak dibanding yang anda bayangkan. Akhirnya saya menyapu dari ujung ke ujung, membersihkan kasur yang kotor, terutama pada bantalnya, bagian bawahnya juga. Saya menata buku-buku yang jatuh berserakan, bersiul-siul. Pekerjaan ini bukan apa-apa untuk saya. Saya sudah terbiasa dan bekerja seperti ini untuk 2 tahun belakangan.

Crat!

Saya terkejut, terdiam dan menatap jendela. Suara aneh terbentur dari kaca itu. Sepertinya ada yang menabrak kaca atau semacamnya? Saya segera membuka korden dan menemukan pemandangan menjijikkan disitu.

"Ih."

Seekor burung, menabrak dan hancur di kaca itu. Darahnya mengucur kemana-mana. Saya memegangi mulut saya karena mual. Apa-apaan ini? Seumur-umur saya tidak pernah melihat seekor burung kehilangan keseimbangannya dan menabrak kaca dengan keras. Saya menutup korden lagi, membersihkan korden itu secepat mungkin dari debu dan mundur.

Tidak. Minimal saya harus membersihkan kamar tidur ini dulu. Saya mulai menyapu lagi, mengumpulkan semua debu pada serok sampah. Mendekati jendela lagi lantas membukanya, persetan dengan jatuhnya mayat burung. Saya harus bersih-bersih dulu.

Saya membuang debu, bersih-bersih, mengemucing tiap inci sedetail mungkin, harusnya lantai ini saya pel juga. Tapi saya tidak menemukan pel. Orang zaman ini mengepel lantai dengan kain dan tangan, masih tradisional sekali. Saya akan melakukan itu besok. Saya membuang debu terakhir dan bisa menemukan awan tampak buruk.

Saya berdecih. Sudah keluar dari hutan malah terdampar di rumah mencurigakan. Saya memandangi awan, itu menyaut, dengan gunturnya.

Jder! Jder! Jder!

Saya bersiul, saya baru tahu kalau awan bisa perhatian juga untuk menjawab tatapan saya. Itu disaut 3 kali berturut-turut, menyeramkan juga.

"Haha, kamu romantis juga. Awan."

Saya tidak bohong soal takut, perasaan saya terus mengeluh sejak tadi. Saya tahu, saya menyadari itu. Bahkan detik ini juga, kalian tak akan tahu. Seseorang sedang memandangi saya dari bawah. Saya bisa merasakan tatapan penuh dendam, menatap saya tanpa mau berkedip. Saya tak tahu dimana tepatnya tapi saya tak berani memeriksa.

Lord Who is Considered TrashWhere stories live. Discover now