Chapter 14 : "Kemudian aku mengingatmu" (2)

125 15 2
                                    

"Kerja? Kerja apa?"

Anak itu berpaling kepadaku, "ayo kita terobos saja. Toh nenek lampir ini tidak mengizinkan kita masuk."

"Eh, hei! Jawab pertanyaanku dulu...!" Wanita muda itu kelihatan kesal, tangannya menggenggam teflon itu erat-erat. Aku menelan ludah.

"Jangan terlalu marah, nenek. Nanti pelangganmu kabur semua tuh." Anak itu menimpali lagi dengan nada yang cukup ramah. Kemudian, dahi wanita muda itu mulai rileks yang tadinya mengkerut agak kasar. Dia menatap pelanggannya dan mulai membungkukkan tubuhnya, sambil membungkuk dia meminta maaf dengan perilaku bar-barnya itu.

"Tuh kan, aku bilang juga apa."

Puk!

Itu bukan dari si wanita muda yang entah mengapa dipanggil nenek lampir itu, namun itu bogeman dariku. "Eh? Apa?" Anak itu meringis seraya menoleh padaku.

"Kamu sudah berlebihan. Jangan begitu, Dik." Aku menghela nafas lelah setelah memukul kepalanya dengan pukulan yang yah, tidak terlalu menyakitkanlah dibanding teflon itu.

"Nah, bekerja tadi katamu? Tapi kami tidak membuka lowongan kerja."

Aku terdiam, melirik anak itu. Apa dia sedang berbohong padaku?

"Oh, yah. Maaf, nona... Tapi.."

"Nona?"

"Ya?"

Itu aneh. Wanita muda itu reflek tersipu malu saat aku memanggilnya nona. Memang apa yang salah?

"Haha, kamu lebih sopan dari yang kukira!" Jawabnya dengan ramah. Selanjutnya dia tertawa sedikit girang.

"Oh, ya... Terimakasih." Aku berdehem, "aku tidak tahu kalau kafe ini tidak membutuhkan pekerja baru. Aku hanya diajak oleh anak ini, katanya disini butuh pekerja. Kebetulan aku sedang butuh pekerjaan secepatnya."

Wanita muda itu menggeleng, seakan ingin mengisyaratkan bahwa kafe ini lagi tidak butuh pekerja baru. Aku lantas menghela nafas lelah. Jadi aku kemari hanya untuk ditipu gitu?

"Ah, kak. Jangan dengarkan dia. Masih ada kok, lowongan pekerjaan. Nenek ini hanya tidak tahu, makanya aku harus bertemu dengan Pak Tua itu!"

"Hei Nak! Jangan bersikap tidak sopan begitu. Hanya karena kau sedikit dekat dengan suamiku, kau tidak bisa memanggilnya sembarangan." Wanita itu menatap bengis sang bocah, aku jadi ikut merinding. Daripada tersinggung karena dipanggil 'nenek', dia lebih tersinggung karena bocah ini bersikap sangat tidak sopan dengan suaminya.

"Kau... Kau....!"

"Hei, kukira itu sudah cukup." Aku memegang bahu anak itu cepat-cepat, melihat tingkahnya makin tidak terkendali. Tepat setelah itu, entah mengapa suasana kafe menjadi agak tegang. Aku melihat sekeliling dan menemukan para pembeli sedang melirik ke arah yang sama. Suara langkah kaki berat turun dari tangga, setiap kaki itu menapak tangga yang lain untuk turun, ada suara menggema yang membuat diam banyak orang. Betul-betul semuanya, si wanita itu, bahkan bocah ini juga mulai tenang.

"Ada apa ribut-ribut disini?"

***

Dahulu kala ada seorang pengrajin pedang atau bisa disebut pandai besi. Sesuai dengan sebutannya, mereka pandai dalam membuat banyak alat-alat dari besi atau baja. Namun di masa beberapa puluh tahun lalu, perang yang menggema di tanah ini membuat para pandai besi berangsur-angsur lebih memfokuskan diri dalam membuat pedang maha tajam!

Para pandai besi itu akhirnya lebih suka disebut pengrajin pedang dibanding pandai besi itu sendiri. Tapi itu sudah beberapa puluh tahun lalu, kini semua telah berubah menjadi sedia kala. Damai, aman, tentram. Pandai besi mulai lebih dibutuhkan dibanding pengrajin pedang sehingga jumlah pengrajin pedang amat sedikit, tepatnya mereka yang sedikit itu hidup untuk bekerja dengan kerajaan. Karena bagaimanapun kerajaan harus tetap memenuhi kebutuhan alat tempur prajuritnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Lord Who is Considered TrashWhere stories live. Discover now