Bab 10. Pecahan Hati

602 151 40
                                    


I'm not as strong as you think I am — Erlangga Auditama.

"Ega, kamu dari mana aja? Kenapa jam segini baru pulang?"

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

"Ega, kamu dari mana aja? Kenapa jam segini baru pulang?"

Ega yang baru akan menaiki anak tangga terpaksa menahan langkahnya, kemudian mengembuskan napas kasar dan berbalik. Ditatapnya sosok laki-laki dewasa yang tidak lain adalah papanya.

"Habis ngerayain ulang tahun mama." Ega menyahut dengan santai, tapi jawabannya jelas mengandung sindiran tajam. "Kalau bukan aku, siapa lagi yang bakalan ngerayain ulang tahun mama, huh?"

Papa Ega mengangguk dengan mulut terkatup dan senyum yang begitu kering. "Papa nggak ngelarang kamu untuk ngerayain ulang tahun mama, tapi ingat waktu juga. Kamu dari siang nggak pulang dan nggak ngasih kabar orang rumah. Mama khawatir nyariin kamu."

"Maaf, tapi aku cuma punya satu mama dan mama aku udah bahagia di atas sana." Ega meralat dengan tegas, kemudian melirik wanita di samping papanya. "Wanita itu bukan mama aku. Dia nggak lebih dari seorang pelakor!"

"EGA!"

"Apa?!" Ega membalas dengan teriakan pula ketika ketika ditegur atas sikap lancangnya. "Emang bener dia pelakor, kan? Buktinya aja 3 bulan setelah mama meninggal kalian langsung menikah. Kalau bukan karena dia selingkuhan Papa, terus apa?"

Tentu sikap kurang ajar Ega ini memancing kemarahan papanya. Laki-laki itu merasa kalau putranya ini perlu diberi pelajaran agar tidak sembarangan bicara mengenai mama sambungnya.

"Minta maaf sama mama kamu!" Papa Ega berusaha untuk tidak bersikap kasar, dengan catatan Ega bersedia meminta maaf atas ucapannya tadi.

"Nggak mau! Aku nggak sudi minta maaf sama pelakor!" Ega menegaskan dengan penuh penekanan, kemudian berbalik meninggalkan papanya.

"Ega, kamu—" Ucapan itu tidak pernah terselesaikan karena genggaman di tangan yang menahan papa Ega untuk pergi.

Ega hanya ingin istirahat sekarang, tapi langkahnya belum sampai di depan kamar ketika sebuah suara kembali menahannya. Dia berbalik dengan ekspresi datar dan menatap gadis yang usianya sekitar 15 tahun, yang tengah mengenakan baju tidur dengan rambut yang digulung.

"Kak, aku tau kalau Kakak nggak pernah suka mama aku, tapi tolong hargai mama. Mama tuh sayang sama Kakak."

Bukannya tersentuh, Ega malah tertawa karena diminta untuk bersikap lebih baik. "Dengar, ya, Sandrina Athanaya anaknya si Pelakor Laras ...," Ega memberikan penekanan dan tatapan penuh kebencian pada gadis lugu di depannya. "... lo, mama, sama adek lo yang rese itu cuma numpang di sini! Jadi, nggak usah sok ngatur gue harus ini itu. Kalau lo nggak suka sama sikap gue, silakan pergi. Kebetulan pintunya tadi belum gue tutup. Jadi, silakan keluar sekarang."

Jelas sikap yang Ega tunjukkan pada Sandrina sangat berbanding terbalik dengan sikapnya pada Tiana. Saat bersama Tiana, Ega selalu memperlihatkan sikap yang jail dan ramah. Namun, saat berhadapan dengan orang-orang yang dibencinya, Ega bisa bersikap sangat kejam, meski hanya melalui lisannya.

Dua Dunia Tiana [ END] Onde histórias criam vida. Descubra agora