Bab 21. Air Mata di Balik Tawa [2]

455 136 53
                                    

Crying isn't a sign of weakness. It is a way of expressing when words can't express how you feel - Tatiana Salarasa.

Tiana melepaskan pelukannya pada Ega ketika mereka sudah sampai di tujuan, tempat di mana mama Ega dimakamkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tiana melepaskan pelukannya pada Ega ketika mereka sudah sampai di tujuan, tempat di mana mama Ega dimakamkan. Gadis itu bingung kenapa mereka pergi ke makam dari sekian banyak tempat yang bisa mereka kunjungi hari ini.

Tiana melompat turun dari motor dan melepaskan helmnya, dengan pandangan yang masih dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan dan jangan lupakan tentang rasa bersalahnya kemarin.

"Gue mau ngenalin lo sama mama. Mau, kan?" kata Ega seraya mengambil helm yang masih Tiana pegang.

Laki-laki itu sudah mendengar cerita dari Bara kalau Tiana ikut mencarinya kemarin. Menurutnya tidak ada alasan untuk tidak mengenalkan Tiana pada mamanya seperti yang sebelumnya dia janjikan ketika datang terakhir kali.

"Ga." Tiana mencengkeram ujung jaket yang Ega kenakan saat ini. Rasa bersalah langsung membanjiri wajahnya, dengan senyum kering yang tampak kaku. "Gue mau minta maaf sama lo."

Kening Ega berkerut bingung atas permintaan maaf Tiana yang tiba-tiba. "Minta maaf buat apa?" Tangan Tiana yang mencengkeram ujung jaketnya dia lepaskan untuk digenggam.

Tiana membiarkan tangannya digenggam dan membalasnya untuk sekadar mencari kekuatan agar bisa mengatakan permintaan maafnya dengan tulus. "Gue mau minta maaf karena waktu itu pernah ngatain lo orang gila yang-"

"Ssttt!" Ega memotong dan meletakkan jari telunjuknya di bibir Tiana agar mulut gadis itu tidak terbuka lagi hanya untuk menyatakan penyesalannya saja. "Lo nggak perlu minta maaf soal apa pun karena emang lo nggak tau, Ta."

Tiana menyingkirkan tangan Ega dan menggenggamnya agar laki-laki itu tidak bisa menghentikannya lagi. "Gue salah, Ga. Nggak peduli siapa pun orangnya, seharusnya gue nggak ngomong hal sekasar itu ke orang yang gue nggak tau kehidupan macam apa yang dia lewati selama ini. Harusnya gue lebih bisa ngejaga perasaan orang lain."

Makin Tiana pikirkan, makin banyak dia menyadari kesalahan yang pernah dilakukannya pada Ega selama ini. Dia berkali-kali memandang Ega sebelah mata, tanpa tahu bagaimana laki-laki itu melewati 11 tahun terakhirnya ini tanpa pelukan hangat sang mama.

"Sekali lagi gue minta maaf atas ucapan gue tempo hari." Tiana meminta maaf dengan segenap ketulusan yang dimilikinya. Kalau dia bisa memutar waktu, gadis itu bersumpah untuk tidak akan pernah mengatakannya pada Ega.

Permintaan maaf Tiana barusan direspons dengan senyum lembut dari lawan bicaranya. "Oke, permintaan maafnya gue terima, tapi sebagai gantinya lo harus lupain masalah ini karena lo udah gue maafin. Setuju?"

Tiana sungguh tidak mengerti. Kenapa Ega begitu baik, hingga tidak pernah sekali pun laki-laki itu marah padanya, tidak peduli betapa kasar Tiana memperlakukannya selama ini. Apa yang membuat Ega begitu sabar dalam menghadapinya?

Dua Dunia Tiana [ END] Where stories live. Discover now