Bab 38. Teriakan Kekecewaan

575 146 25
                                    

I'm just want to be loved but I'm doing it wrong — Erlangga Auditama.

I'm just want to be loved but I'm doing it wrong — Erlangga Auditama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bram, tenang dulu. Ega nggak akan kenapa-napa. Dia pasti cuma butuh waktu sekarang." Ayah Tiana berbicara melalui sambungan telepon, di mana lawan bicaranya terdengar sedang menangis tersedu-sedu. "Ega sudah cukup dewasa dan sudah saatnya dia untuk tau yang sebenarnya."

"Ega belum siap." Papa Ega berbisik di seberang sana dengan suara parau. "Lukanya bahkan masih belum sembuh, Jaya. Dan yang aku lakuin sekarang adalah nyakitin dia lagi."

Ayah Tiana menggeleng, membantah semua penuturan lawan bicaranya. "Bram, memangnya mau sampai kapan kamu menutupi semua ini dari Ega? Hampir 11 tahun Laras menderita karena kebencian Ega. Mau sampai kapan kamu ngebiarin istri kamu diinjak-injak sama anak yang bahkan bukan darah daging kamu?"

"Kamu harus tegas sama Ega sesekali, Bram." Ayah Tiana menambahkan dengan penuh penekanan. "Nggak boleh kamu terus-terusan ngebiarin Ega bersikap seenaknya cuma karena kamu nggak mau nyakitin dia lagi. Dengan sikap kamu yang kayak gini, kamu juga nyakitin istri dan anak kamu yang lain, Bram."

"Aku ngelakuin ini bukan karena aku benci sama Ega. Nggak, Bram!" Sebelum dikira sengaja merusak hubungan ayah dan anak yang memang sudah sangat hancur itu, ayah Tiana menjelaskan maksudnya. "Justru aku ngelakuin ini juga untuk kebaikannya Ega.

Coba kamu bayangkan kalau Ega tau masalah ini setelah kamu meninggal nanti? Kamu pikir, gimana Ega bisa menebus rasa bersalahnya sama kamu? Semakin cepat Ega tau, semakin cepat juga hubungan kalian membaik."

Papa Ega tidak memberikan sanggahan lagi. Apa yang dilakukannya saat ini hanyalah menangis karena hatinya sakit saat melihat reaksi Ega tadi. Laki-laki itu melihat betapa hancurnya Ega saat kebenaran itu dia katakan. Lagi-lagi dia menyakiti putranya.

"Kasih Ega waktu sendiri, Bram. Biarin dia marah sama dirinya sendiri sekarang." Ayah Tiana kembali berbicara. Karena Ega adalah teman dekat putrinya, tentu dia juga ingin yang terbaik untuk laki-laki muda itu. Dia tidak ingin kalau sikap Ega selama ini akan mempengaruhi putrinya. "Setelah emosinya reda nanti, kalian bisa bicara."

Ketika laki-laki satu anak itu sibuk menenangkan sang sahabat di seberang sana, yang sedang menangis tersedu-sedu, sosok Tiana berdiri di belakangnya dengan tubuh yang begitu kaku.

Niatnya menghampiri sang ayah tadi adalah untuk mengajaknya makan malam, tetapi yang dia dengar malah membuat perut Tiana rasanya seperti dipelintir sekarang.

"Ega bukan anak kandungnya Om Bram?"

Mendengar suara putrinya membuat ayah Tiana menoleh. Dia buru-buru memutuskan sambungan teleponnya dan papa Ega setelah mengatakan kalau dia akan menelepon lagi setelah makan malam.

"Makan malamnya udah siap, ya?" Ayah Tiana mengalihkan pembicaraan, berpura-pura tidak mendengar pertanyaan sebelumnya. "Ayo, makan. Ayah udah lapar."

"Ayah, tunggu!" Tiana menahan tangan sang ayah yang ingin melarikan diri darinya. "Apa Tiana nggak salah dengar? Ega bukan anak kandungnya Om Bram?" Jauh di dalam lubuk hatinya, Tiana berdoa kalau tadi dia hanya salah mendengar.

Dua Dunia Tiana [ END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang