Bab 17. Kepingan Rasa Sakit

482 127 37
                                    

I can't endure this pain — Erlangga Auditama.

Semenjak Bu Weni datang membawa kabar duka itu, Ega menjadi sedikit pendiam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semenjak Bu Weni datang membawa kabar duka itu, Ega menjadi sedikit pendiam. Serangan godaannya pada Tiana masih sering dilancarkan, tetapi tidak segencar biasanya dan diamnya Ega berlanjut sampai di tempat tongkrongan.

Ketika yang lain sibuk bercengkerama, Ega malah tampak melamun memikirkan sesuatu.

"Gue balik, ya." Ega bangkit dari duduknya. Wajah laki-laki itu tampak murung, tetapi tidak sampai pucat.

"Buru-buru banget. Mau ke mana? Kencan sama Tiana, ya?" Bima merespons dengan godaan jail.

"Pusing kepala gue. Rasanya kayak mau pecah."

"Sakit lo?" tanya Ibra.

Ega menggeleng asal. "Gue balik duluan," pamitnya lagi, kemudian melangkah pergi. Peringatan untuk hati-hati hanya dibalasnya dengan lambaian tangan tanpa menoleh.

"Kenapa tuh anak?" Bara bertanya pada yang lain, yang sama-sama tidak tahu sepertinya. "Gue perhatiin pendiam banget belakangan ini."

"Berantem sama Tiana kalik. Jadinya, galau akut begitu," celetuk Nando.

"Kayaknya bukan karena Tiana deh." Gio menimpali dengan gelengan tidak yakin. "Soalnya kemaren gue intip chat-nya malah makin deket. Udah ayang-ayangan aja. Nggak mungkin galau karena Tiana."

Lagi-lagi sikap diam Ega membuat banyak pertanyaan muncul di benak orang-orang terdekatnya, tidak terkecuali sang ibu sambung. Sebelum berangkat ke sekolah tadi pagi, Ega tampak melamun lama sekali di meja makan hingga harus ditegur.

Dia yang biasanya akan berdecak sebal ketika merasa diganggu, kali ini hanya merespons dengan tatapan sendu. Dia yang biasa tidak pernah pamit, untuk pertama kalinya melakukan hal itu di depan ayah dan adik tirinya.

Beberapa hari belakangan ini memang terasa agak berat untuknya. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, membuat laki-laki itu merasa tidak enak hati untuk melakukan aktivitas.

Makam sang mama adalah tempat curhat terbaiknya. Meski tidak mendapatkan jawaban, tetapi Ega selalu merasa lebih lega ketika bercerita dengan batu itu.

"Hai, Ma, Ega datang." Laki-laki itu mengusap batu nisan mamanya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, air matanya jatuh ketika dia menunduk lama sekali setelah mengumumkan kedatangannya. "Maaf, ya, Ma, Ega belum bisa bawa Tiana ke sini. Waktunya belum tepat kalau sekarang. Kalau nanti waktunya udah tepat, pasti bakalan Ega bawa ke sini. Ega janji."

Dada Ega mulai terasa sesak. Bibirnya berkali-kali dijilat dan dirapatkan. Laki-laki itu ingin melanjutkan celotehannya, tetapi dia seperti tidak sanggup karena harus membangkitkan rasa penyesalan itu, yang sebenarnya sudah kembali menghantuinya sejak beberapa waktu lalu.

Tidak ada yang Ega ceritakan setelahnya. Dia hanya duduk di samping makam mamanya dan menangis tanpa diketahui siapa pun. Tampaknya ada beban berat yang sedang dia pikul saat ini, beban yang hanya diketahui olehnya.

Dua Dunia Tiana [ END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang