Teka-Teki Kecelakaan Rian 2

4.9K 401 4
                                    

Teror Arwah Gentayangan #10

Setelah bersiap aku memutuskan menunggu Dina di atas motor saja.
Dina masih di dalam rumah, memastikan semua jendela dan pintu tertutup dan tidak lupa untuk menguncinya.

"Sudah, Dek?" tanyaku kepada Dina yang kini tengah melangkah menghampiriku.

"Sudah, Mas. Semua pintu dan jendela sudah aku tutup dan kunci,"

"Kita berangkat sekarang?"

Dina mengangguk sembari menaiki motor, tidak lupa ia melingkarkan tangannya ke pinggangku.

Motor melaju meninggalkan pekarangan rumah.
Aku melajukannya dengan pelan.
Menikmati hembusan angin sore yang sangat segar, sesekali aku dan Dina menyapa tetangga yang berpapasan dengan kami.‎

Tidak terasa, kami hampir sampai di rumah Mbak Nisa.
Dari kejauhan nampak Mbak Ida dan Pak Ustad tengah berbincang dengan Mbok Nah di pelataran rumah.

Menyadari kehadiran aku dan Dina, mereka seketika menghentikan obrolan.
Mereka semua serempak menjawab salam kami berdua.

Belum ada tanda-tanda kedatangan Mbak Sari.
Begitu juga dengan Mbak Nisa yang tak nampak batang hidungnya.

"Mbak Nisa kemana, Mbok? Kok enggak kelihatan?" tanya Dina.

"Nisa, ada. Dia masih marah, biar nanti Mbok yang membujuknya,"

Kami berlima dikejutkan dengan suara gaduh dari arah jalan.

"Tunggu, Ikmal!!! Jangan lari Nak,"

Mbak Sari berteriak kepada seorang anak laki-laki yang lari tunggang-langgang, seperti orang ketakutan.

"Itu siapa yang dateng sama Mbak Sari, Dek?" tanyaku setengah berbisik kepada Dina.

"Itu Ikmal namanya, Mas. Anaknya Mbak Sari."

"Lihat!! Mbok!! Anakku seperti orang gila gara-gara di gentayangin terus sama Cucumu, Rian!" Seru Mbak Sari dari sebrang jalan.

Kami menatap bingung, tidak tau harus berbuat apa.
Sementara Ikmal telah pergi, menghilang dari pandangan.

Masih dengan amarah yang meluap, Mbak Sari menghampiri kami.
Tanpa bisa kami cegah Mbak Sari menyerang Mbok Nah.
Dengan kasar, Mbak Sari memegang kedua bahu Mbok Nah dan mengguncangnya.

"Mbok dan Nisa harus bertanggung jawab! Dengar Mbok!!"

"Istighfar Mbak, jangan seperti ini."

Pak Ustad coba mengingatkan.
Kami semua mencoba melerai namun tenaga Mbak Sari sangat kuat, seperti orang kesetanan.

Mbok Nah hanya bisa menangis tanpa suara.
Air matanya menitik, sesekali ia menggelengkan kepalanya seakan sebuah penyangkalan atas ucapan Mbak Sari.

Mbak Nisa berlari menghampiri Mbak Sari.
Dengan kecepatan kilat, kedua tangannya mencekal lengan Mbak Sari.
Dengan satu kali hentakan, tangan Mbak Sari berhasil lepas dari bahu Mbok Nah.

Plaaaakkkk!!!!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Mbak Sari.
Bekas merah, membuktikan betapa kuat tamparan itu dilayangkan.

"Aku sudah bilang, Jangan kurang ajar sama orangtua Mbak!!!"

Mbak Sari menangis sesegukan.

"Kita semua harus banyak-banyak istighfar,"

Pak Ustad terus mencoba mengingatkan kami semua.

"Sebelum semakin gelap. Mari kita laksanakan yang menjadi tujuan kita,"

Kami semua menyetujui saran Pak Ustad.

Dengan menggunakan motor, kami bergegas pergi ke pemakaman.

Saat tiba di depan gapura, seorang pemuda nampak bersimpuh di depan makam almarhum Rian.

"Ikmal!!!!" seru Mbak Sari yang menyadari bahwa pemuda itu anaknya.

Dengan tergopoh ia berlari menghampiri anaknya.

"Maafin gue, Rian! Gue minta ampun! Jangan gentayangin gue lagi!"

Ikmal terus meracau, meminta ampun di depan makam almarhum.

Entah apa yang Ikmal lihat, tiba-tiba ia berdiri dan lari.
Belum sempat Mbak Sari memeluknya, Mbak Sari malah terjatuh di dorong oleh anaknya itu.

"Lihat Mbak! Enggak ada satu biji pun yang tumbuh! Itu artinya, anakku tidak gentayangan!" Mbak Nisa menunjuk pusara almarhum.

Mbak Sari yang kini tersungkur di disamping makam, manatap lekat biji-bijian yang ada di sana.

"Eh Nisa! Jelas saja tidak tumbuh! Ini biji sudah di sangrai! Tapi bukan berati anakmu tidak menjadi setan!"

Suasana semakin memanas karena Mbak Nisa dan Mbak Sari terus saja berdebat.

Beruntung di sini ada Pak Ustad yang bisa menenangkan suasana.
Pak Ustad meminta kami semua untuk mendoakan almarhum.

Kami semua mendoakan kebaikan untuk almarhum, kecuali Mbak Sari.
Ia pergi tanpa permisi setelah puas menyalurkan amarahnya.

Selesai berdoa, aku merasakan hawa aneh seperti biasanya.‎
Dina dan yang lain berjalan mendahului aku dan Pak Ustad.‎
Aku dan Pak Ustad yang berjalan di belakang menoleh bersamaan saat mendengar suara aneh.

Kraaaakkk!

Suara seperti ranting yang patah terinjak itu terdengar lagi.

Aku berjongkok mengambil sebatang kayu di dekat makam almarhum Rian.

"Mungkin Ranting jatuh, Pak Ustad."

Pak Ustad mengangguk dan kembali berjalan.

"Mari kita pulang, Mas. Sudah hampir Magrib," Ucap Pak Ustad.

Saat aku hendak berdiri, pandanganku terfokus pada sebuah biji kacang hijau.
Aku memungut dan mengamatinya.
Biji ini masih segar, dan kulitnya sedikit terbuka.
Saat aku hendak membersihkannya, kulit biji itu terkelupas dan memperlihatkan sebuah tanda kehidupan.
Biji itu berkecambah.

"Astaga! Itu artinya," ucapku tertahan.

"Toooollllooong, perrrriiihhh."

Suara misterius yang sudah sangat aku hafal itu kembali terdengar.
Gegas aku berjalan dengan cepat meninggalkan area makam, sebelum almarhum kembali menampakan wujudnya.

Semua yang ikut, kini telah menungguku di depan gapura makam.
Langkahku terhenti saat sesosok anak laki-laki berwajah pucat pasih berdiri di bawah pohon waru.
Badanku mematung, tak bisa ku gerakan.
Mulutku tak bisa bersuara.
Sayup-sayup semua orang memanggilku, namun aku tak mampu menjawab.
Belum sempat aku meminta tolong, semuanya mendadak gelap.

Bersambung....‎




Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Where stories live. Discover now