Mengejar Pelaku

4.2K 365 9
                                    

Teror Arwah Gentayangan #19

Di sepanjang perjalanan menuju rumah almarhum Rian, Ikmal nampak begitu gusar.
Kepalanya tertunduk, dan sesekali ia meremas rambutnya dengan kasar.‎

Mbak Sari beberapa kali nampak menepuk-nepuk pundak Ikmal, seakan ingin memberi dukungan.
Walaupun sekilas, aku yang berjalan dibelakang mereka bisa menangkap kecemasan diraut wajah Mbak Sari.

"Kita berdoa saja semoga Mbok Nah dan Mbak Nisa mau memaafkan kamu, Ikmal." Ucap Pak Ustad seakan mengerti kerisauan ibu dan anak ini.

"Aamiin, Pak Ustad." Sahut Ikmal dan Mbak Sari sembari menoleh ke arah kami, Aku dan Pak Ustad.

Tidak terasa, kami telah sampai di teras rumah Mbok Nah.
Beberapa kali kami menguluk salam, namun tidak ada jawaban.

"Mungkin sedang istirahat siang, Pak Ustad." Ucapku.

"Apa kita pulang dulu saja? Nanti malam kita semua kembali lagi kesini."

Pak Ustad memberi usul.
Sesaat Ikmal dan Mbak Sari termenung, sampai akhirnya mereka mengangguk bersama.

Saat kami berbalik untuk meninggalkan rumah Mbok Nah, nampak sang tuan rumah baru saja datang dengan motornya.
Setelah motor berhenti, Mbok Nah yang dibonceng Mbak Sari seketika menuruni motor dan menghampiri kami.

"Assalamualaikum," Ucap Mbok Nah.
Kami menjawab ulukan salam Mbok Nah bersama-sama.

"Ada apa ini ramai-ramai? Mari, mari Masuk."

Begitu ramah penyambutan Mbok Nah kepada kami, seakan beliau sudah lupa atas perlakuan orang-orang di rumah Mbak Sari.

"Maafkan Ikmal, Bulek Nisa!"

Tanpa di duga, Ikmal menyambar lutut Mbak Nisa yang kini berdiri disisi Mbok Nah. Ia bersujud meminta maaf.
"Ada apa ini?" tanya Mbak Nisa yang nampak begitu bingung.

Belum juga menjawab pertanyaan Mbak Nisa, kini Ikmal bepindah memeluk dan mencium kaki Mbok Nah.

"Jangan begini, Nak. Mari masuk, kita bicarakan di dalam." ajak Mbok Nah sembari mengangkat bahu Ikmal.

Mbok Nah merangkul dan menggiring Ikmal masuk ke dalam rumah.
Kami mengekor di belakang Mbok Nah.

Setelah kami semua telah berada di dalam rumah, Mbok Nah mempersilakan kami semua untuk duduk.

"Ada apa ini sebenarnya?" Mbok Nah mengulangi pertanyaannya.

"Jadi begini, Mbok. Maksud kedatangan kami adalah untuk ...,"‎

"Biar saya saja Pak Ustad," Ikmal menyela ucapan Pak Ustad.

Dengan terus terisak Ikmal mengakui kesalahannya, dan menceritakan keisengannya terhadap almarhum Rian.

"Astagfirullah!" seru Mbak Nisa dan Mbok Nah bersamaan.

Mbak Nisa beranjak dari duduknya dan menghampiri Ikmal.
Sebuah pukulan tak terhindarkan mendarat di pelipis sebelah kiri Ikmal.

"Apa salah Rian sama kamu hah?! Bukankah kalian berteman? Kenapa kamu tega?"

Mbak Nisa tak bisa membendung amarahnya, hingga pukulan yang sama hendak ia layangkan.
Kali ini tangan keriput Mbok Nah berhasil mencekal lengan Mbak Nisa dan menahannya.
Seperti yang dilakukan anaknya, kini Mbak Sari yang menyambar lutut Mbak Nisa dan memeluknya.
"Maafkan Ikmal, Nis. Maafkan," Mbak Sari terus memohon.

"Sudah, Nis. Sabar, yang terpenting Ikmal sudah mengakui kesalahan dan menyesalinya. Sekarang tinggal kita cari jalan keluarnya,"

Beruntung, Mbak Nisa mempunyai orangtua yang baik dan bijaksana seperti Mbok Nah.

Akhirnya kami semua duduk ketempat semula setelah Mbak Nisa mau menerima saran dari Ibunya.

"Jadi bagaimana ini Pak Ustad? Apa yang harus kita lakukan," tanya Mbok Nah.

"Bukan kita, tapi Ikmal yang harus menyelesaikannya. Kamu siap Ikmal?" tanya Pak Ustad sembari menoleh ke arah Ikmal.

Begitu juga kami, pandangan kami semua tertuju pada Ikmal.

Ikmal bergeming.

"Bagaimana Ikmal? Apa kamu siap?"

Pak Ustad mengulangi pertanyaannya, yang dijawab anggukan oleh Ikmal.

"Apa yang harus saya lakukan, Pak Ustad?" tanya Ikmal.

"Malam nanti, selepas Isya' kamu harus datangi tempat kecelakaan itu. Kamu bersihkan tempat yang kemarin kamu tetesin perasan jeruk nipis itu. Semua, jangan sampai ada yang terlewat."

"Baik Pak Ustad," jawab Ikmal penuh kesungguhan.

"Nanti biar saya dan Mas Dimas yang akan menemani kamu,"

Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Pak Ustad.
Semua orang setuju, walau awalnya Mbak Nisa sempat memaksa untuk ikut.

Setelah tercapai kesepakatan kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

Pak Ustad, Mbak Sari, dan Ikmal mendahuluiku.
Saat hendak meninggalkan pekarangan rumah Mbok Nah, semilir angin dingin menerpa punggungku.
Seketika bulu di sekujur tubuh meremang.
Aku berbalik menatap rumah Mbok Nah.
Dari pantulan kaca aku melihat sosok Rian tengah menatapku.

"Sabar, Rian. Sebentar lagi, aku berjanji akan membantumu menyelesaikan semua ini." batinku.

"Mas Dimas,"

Aku tersentak mendengar panggilan Pak Ustad, seketika aku menoleh.

"Mari, Pulang." ajak Pak Ustad.

Aku mengangguk dan menghampiri Pak Ustad.
Sekali lagi, aku berbalik. Sekilas menatap rumah Mbok Nah.
Rian, sosoknya sudah menghilang.

Bersambung...‎

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Where stories live. Discover now