Mengumpulkan Petunjuk

4.6K 394 7
                                    

Teror Arwah Gentayangan #11

Gelap.
Benar-benar gelap, tidak ada cahaya sedikitpun yang tertangkap indera penglihatanku.
Ku ikuti naluriku untuk terus berjalan ke depan.
Sesekali tanganku meraba ke segala arah, mencari petunjuk apa saja yang bisa menuntunku keluar dari tempat gelap ini. Namun nihil.

"Peeerrriiiihhh, tooolooong."

Suara itu lagi.
Suara yang sudah sangat aku hafal, dan bahkan sering membuatku ketakutan.

Seperti sekarang, seketika jantungku berdegub sangat kencang.

"Mau apa kamu hah?!" tanyaku kepada sumber suara yang tidak nampak wujudnya.

Hening, lama tak ada sahutan.
Tidak ada suara lain yang bisa aku dengar selain deru nafas dan degup jantungku sendiri.
Aku frustasi.
Lari pun tidak ada gunanya, karena tempat ini seperti tidak ada ujungnya.

Sebuah cahaya menyilaukanku.
Seperti cahaya senter yang di ayunkan.
Kilatan itu berpindah-pindah, dan mataku terus mengikutinya.

"Aaakkkhh!" teriakku.

Cahaya itu menyorot sesosok wajah yang sudah sangat aku kenal.
Almarhum Rian dengan wajah yang pucat pasi berdiri tak jauh dari tempatku berada.
Hanya sesaat, lalu hilang bersamaan dengan berpindahnya cahaya itu.

Tap ... Tap ... Tap ...

Suara langkah kaki yang terdengar semakin mendekat.
Ada sedikit perasaan lega, namun naluriku memaksa untuk tetap waspada.
Aku berharap bisa meminta tolong, namun aku juga tidak bisa mengabaikan jika seseorang itu bisa mencelakakanku.

Aku tidak bisa melihat siapa orang yang kini berjalan ke arahku.
Sebuah senter di tangannya, dan sepertinya ia berjalan dengan tergesa-gesa.

"Hei! Permisi," sapaku.

Perasaanku menjadi semakin tidak enak karena sepertinya orang itu tidak bisa mendengarku.

Orang itu terus berjalan dengan senter sebagai sumber cahaya satu-satunya.
Sampai akhirnya orang itu berhenti.
Senter itu menyorot aspal yang ada didekatnya.
Samar aku melihat seperti bekas darah yang ditutup pasir.
Beberapa tetesan darah terlihat masih segar, tidak tertutup sempurna oleh pasir.

Sebuah tangan terjulur memegang jeruk nipis yang sudah terbelah menjadi dua, lalu memerasnya.

"Hei! Jangan!"

Aku berusaha menghentikan ulah orang itu. Orang yang sama sekali tidak bisa aku kenali.

Sebelah tangannya terus memeras jeruk nipis di atas bekas darah, sementara tangan lain menerangi dengan senternya.

"Jangan!"

Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan.
Aku ingin menghentikannya, namun badanku mendadak kaku.
Orang itu mengabaikan ucapanku, seperti tidak mendengar.

Sebuah sirine terdengar sangat nyaring.
Seketika orang itu pergi meninggalkan lokasi.

"Hei! Jangan pergi!"

Cahaya sangat terang membuatku berkali-kali mengerjapkan mata.
Ini tempat yang berbeda.
Tempat yang sangat aku kenali, seperti ...

"Mas!"

Baru aku sadari kini Dina tengah menangis memelukku.
Banyak pasang mata yang menatap, dengan raut kebingungan.

"Kok banyak orang, Dek?"
Tanyaku heran.
Aku semakin bingung karena tiba-tiba aku telah berada di kamar, dan banyak orang.

Aku masih terbaring di ranjang dengan Dina yang menangis di dadaku.

"Ada apa ini, Dek?"

Pak Ustad mendekat, menenangkan Dina.

"Suami Mbak Dina tidak apa-apa, yang lain silahkan boleh pulang. Biar Mbak Dina dan Suami bisa istirahat."

Semua orang pergi, kecuali Pak Ustad.

"Ada apa ini, Pak Ustad?"

"Mas Dimas tadi pingsan saat pulang dari makam,"

"Ah, Iya. Saya ingat Pak Ustad,"‎

"Apa yang terjadi, Mas? Apa Mas Dimas dapat petunjuk?"

Aku mengangguk.
Atas permintaan Pak Ustad, aku menceritakan semua yang aku lihat.

"Jangan-jangan orang itu Mbak Nisa, Mas?" Ucap Dina

Aku dan Pak Ustad spontan beristighfar.

"Jangan asal nuduh, Dek."

Aku coba mengingatkan Dina untuk tidak berprasangka buruk.

"Bukan nuduh mas, tapi kamu ingat enggak? Kejadian di makam almarhum beberapa waktu lalu?"

Dina menceritakan kepada Pak Ustad, bahwa kami pernah bertemu Mbak Nisa di makam almarhum Rian.
Tanpa sengaja Mbak Nisa menumpahkan belanjaannya, dan salah satu isinya jeruk nipis.

Kami semua tidak ingin asal menuduh, dan ingin mencari tau kebenarannya.
Pak Ustad meminta aku dan Dina ke rumah Beliau esok hari, untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut.

Karena malam semakin larut, Pak Ustad pamit pulang.

Dina belum beranjak dari sisiku.
Menggenggam erat jemariku.
Kecemasan masih tergambar jelas di wajahnya.

"Dek, boleh minta tolong? Mas haus," ucapku memelas.

"Sebentar, Mas. Adek ambilkan minum,"

Saat Dina berlalu, menghilang di balik pintu.
Lampu kamar mendadak mati.

"Dek,"

Berulang kali aku memanggil Dina, namun ia tak menjawab.

Brrruuukkk!

Seperti ada benda jatuh di dekat ranjang.
Aku tidak bisa melihat karena kondisi kamar yang gelap, dengan susah payah ku gapai saklar untuk menghidupkan lampu.
Ku edarkan pandanganku keseluruh penjuru kamar, tidak ada apapun yang mencurigakan.

"Tooolooong,"

Suara misterius itu terdengar lagi bersama dengan lampu kamar yang berkedap-kedip.

"Saya akan bantu, kamu."

Meski ragu, ku beranikan diri menjawab suara itu.
Ini semua harus segera selesai, agar arwah almarhum bisa tenang.
Aku dan Dina serta warga kampung ini juga bisa segera kembali hidup normal.‎

Bersambung...

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Where stories live. Discover now