Titik Terang 3

4.3K 374 7
                                    

Teror Arwah Gentayangan #15

Semua orang di ruangan ini tidak ada yang bersuara.
Setiap pasang mata, menatap fokus ke arah Mbak Nisa.

"Jawab jujur, Nisa!" Sentak Mbok Nah saat anaknya tetap saja bergeming.

Mbok Nah beranjak dari duduknya, berdiri tepat di hadapan Mbak Nisa.

"Jawab, Nis!"

Suara Mbok Nah terdengar bergetar, tergambar jelas amarah yang tertahan disana.

Air mata Mbak Nisa jatuh bercucuran.
Badannya gemetar.

"Kalian semua kejam!" pekiknya keras.

"Apa maksud Mbak?" tanya Nisa tak kalah lantang.

"Asal kalian tau, Saya memang tidak terima dan belum ikhlas atas kecelakaan yang menimpa Rian! Tapi saya bukan Ibu yang hilang kewarasannya! Saya tidak mungkin dengan sengaja membuat Rian gentayangan!"

"Kamu tidak bohong, Nisa?" tanya Mbok Nah.

"Demi Tuhan, Mbok! Bukan Nisa!"

"Mbok, Percaya." jawab Mbok Nah sembari merengkuh tubuh Mbak Nisa kedalam pelukan.

"Dina, Mbok dan Nisa minta maaf jika kamu merasa arwah almarhumlah yang menjadi sebab celakanya suamimu. Tapi Mbok percaya sama Nisa, karena Mbok mengenal Nisa lebih dari siapapun mengenal dia."

Mbak Nisa tergugu dalam pelukan Ibunya, isaknya terdengar memilukan hati.
Aku menangkap raut penyesalan pada Dina, mungkin dia menyesal telah menuduh Mbak Nisa.

"Maafkan kami, ya Mbok. Mbak Nisa, saya dan Dina tidak bermaksud menuduh Mbak Nisa," ucapku.

"Kami paham, Nak Dimas."

"Terimakasih, Mbok."

Mbak Ida, Mbok Nah dan Mbak Nisa pamit kembali ke rumah.
Begitu juga dengan Rudi. Setelah di ruangan ini hanya tinggal kami bertiga, Rudi mengutarakan niatnya untuk pamit. Sebelumnya beliau menyerahkan beberapa lembar uang sebagai tanda tanggung jawabnya, namun tentu saja kami tolak.

"Dengan Mas Rudi mengantarkan saya ke rumah, ini sudah saya anggap sebagai tanggung jawab." Ucapku sembari mengulurkan kembali uang dari Rudi.‎

"Terimakasih, dan sekali lagi saya mohon maaf kepada Mas Dimas sekeluarga."

"Sama-sama, Mas."

Rudi berlalu meninggalkan pekarangan rumah kami bersama motornya.

Dina kembali masuk dan mengunci pintu setelah mengantarkan Rudi ke depan.

"Mas beneran enggak mau ke dokter?" tanya Dina setelah kembali duduk di dekatku.

"Iya, Dek. Mas enggak apa-apa kok," jawabku mencoba meyakinkan.

Hari ini aku lewatkan dengan berbaring di kamar.
Sesekali merubah posisi, duduk bersandar di sisi ranjang sekedar mengurangi pegal di badan.
Makan dan minum, aku lakukan di kamar.
Beruntung aku masih bisa berjalan ke toilet, meski harus merambat berpegang pada dinding.

Tidak terasa, malampun tiba.

Samar-samar terdengar ulukan salam dari luar rumah.

"Siapa ya, Dek?" tanyaku pada Dina yang kini tengah memijat lenganku.

"Enggak tau, Mas. Coba adek lihat,"

Dina bergegas menghampiri sumber suara.
Terdengar suara Dina yang menjawab salam, disusul dengan suara pintu yang dibuka.
Sayup aku bisa mendengar suara yang sepertinya aku kenal.

Derap langkah terdengar mendekat ke arahku.

Tok ... Tok ... Tok ...,

"Mas, ini ada Mbok Nah dan Pak Ustad." Ucap Dina di luar pintu kamar.

"Masuk, Dek."

"Silahkan, Mbok. Pak Ustad," Dina mempersilahkan.‎

Terdengar pintu yang dibuka.
Pak Ustad dan Mbok Nah pun masuk bersama Dina.

"Enggak usah bangun, Mas Dimas."

Pak Ustad melarangku saat aku hendak bangun untuk menyambut. Aku menurut karena memang badanku rasanya masih remuk.

Pak Ustad memberitahu maksud ketadangannya.
Setelah sebelumnya Mbok Nah menceritakan kejadian tadi pagi kepada Pak Ustad, dan akhirnya mereka memutuskan untuk datang kesini.
Kami memutuskan untuk mencari jalan keluar bersama.

"Jadi sebelumnya saya mendapat penglihatan kalau ada seseorang yang sengaja memeras jeruk di bekas ceceran darah, di tempat kecelakaan itu Pak Ustad." Terangku.

"Kita harus cari siapa orangnya. Karena kalau benar ada yang memeras jeruk di lokasi dengan tujuan membuat arwah almarhum gentayangan, maka orang tersebut yang harus membersihkannya." Jelas Pak Ustad.

"Siapa yang sudah tega sama cucuku?" gumam Mbok Nah.

Dina berusaha menenangkan Mbok Nah.

Mbok Nah dan Pak Ustad memutuskan untuk pulang karena malam semakin larut.

Ikmal! Ikmal! Ikmal!

Ramai teriakan orang memanggil Ikmal di iringi suara kentongan yang bersahutan.

Sumber suara sepertinya dari arah jalan depan rumah.

"Ada apa itu?" tanyaku.

"Mas, kamu istirahat saja disini."

Dina mencegahku untuk ikut melihat kegaduhan yang ada.

"Semua ini gara-gara cucumu, Mbok! Arwah sialan!"

Walau tanpa melihat, bisa aku pastikan itu adalah suara Mbak Sari yang tengah memaki Mbok Nah.
Entah apa yang terjadi pada anak Mbak Sari, Ikmal.

Bersambung...‎

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Where stories live. Discover now