Titik Terang

4.5K 396 0
                                    

Teror Arwah Gentayangan #13
Oleh: Diyah Guswan

Dinginnya angin di pagi buta seperti sekarang ini sungguh sulit untuk aku tahan.
Badanku mulai menggigil, dan gigiku bergemelatuk tanpa bisa aku kendalikan.

Sunyi, sepi seperti kampung mati.
Semua warga sepertinya masih nyenyak dalam buaian mimpi.
Terlebih dengan adanya teror Arwah Rian, membuat warga enggan untuk beraktifitas diluar rumah sebelum matahari terbit.

Aku terus melajukan motorku.
Sesekali aku harus menarik rem dengan mendadak karena banyaknya lubang di jalan.

Minimnya penerangan, dan jalan yang rusak membuatku terpaksa harus mengurangi kecepatan motorku.
Tak terasa, kini aku telah sampai di area perkebunan tebu.
Hawa dingin semakin menyergap, menusuk hingga ke tulang.

Saat aku melintasi makam, sekilas aku melihat sosok Rian berdiri di depan gapura.
Aku coba mengabaikan, dan terus melanjutkan perjalanan.
Hingga akhirnya aku sampai di ujung jalan kampung.
Sejenak kuberhentikan motorku.
Menoleh ke kanan dan kiri, kini aku dilanda kebingungan. Tidak tau harus memilih arah yang mana.

Samar-samar di kejauhan aku melihat sebuah bayangan.
Semakin kuperhatikan, aku semakin yakin bahwa itu Rian.
Bayangan itu menghilang setelah aku mengerjapkan mata.

"Mungkin dia ingin menunjukan arah," batinku.

Akhirnya aku memilih untuk berbelok ke arah kiri, mengikuti arah dimana aku melihat bayangan Rian tadi.
Aku sengaja mengurangi kecepatan motorku, agar bisa memerhatikan sekeliling.
Deretan pohon disisi jalan bergerak seirama mengikuti hembusan angin.

Sebuah warung sederhana di pinggir jalan menarik perhatianku.
Kuhentikan laju motorku, dan coba mengamati.

"Benar, itu warung yang ada di mimpiku."

Aku yakin, warung tersebut adalah warung yang aku lihat didalam mimpi.

"Berati lokasi kecelakaan tidak jauh dari sini."

Aku memarkirkan motorku di halaman warung.
Sepi, dan gelap.
Hanya sebuah bohlam kecil bercahaya jingga sebagai penerang dibagian teras.

Beruntung aku selalu membawa senter kecil di dalam saku jaketku.
Dengan perlahan, aku menyusuru tepian jalan.

Belum lama aku melangkahkan kaki, suara pintu yang terbuka mengagetkanku.
Kuhentikan langkahku, lalu menoleh ke arah sumber suara.

"Siapa itu?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari dalam warung.

Wanita bertubuh tambun, mengenakan atasan oblong dan memakai kain jarik sebagai bawahan.
Wanita itu berjalan ke arahku sembari terus bertanya siapa aku dan ada urusan apa di sini.

"Maaf, Ibu. Saya Dimas, saya ingin mencari barang yang hilang. Sepertinya jatuh di sekitar jalan sini. Saya mohon ijin menitipkan motor saya di sini sebentar," jawabku panjang lebar.

Tidak aku sangka, wanita yang aku taksir usianya 50tahunan itu menanggapiku dengan sangat ramah.

"Ini masih sangat pagi, Nak. Sebaiknya Nak Dimas kembali lagi saja nanti setelah suasana sudah lebih terang."

"Enggak apa-apa, Bu. Saya membawa ini." Jawabku sembari menunjukkan senter kecil yang aku bawa.

"Oh ya sudah. Kalau boleh tau, barang apa yang hilang Nak? Siapa tau Ibu bisa bantu carikan."

"Ehm, Anu Bu. Itu, KTP yang hilang." jawabku asal.

Aku sendiri tidak tau, sebenarnya Rian ingin menunjukan apa kepadaku.

Ibu itu manggut-manggut menanggapiku.

"Kalau begitu, saya permisi dulu Bu." Pamitku melanjutkan pekerjaanku.

"Sebentar, Nak. Kalau di sini, jangan lupa banyak-banyak baca Bissmillah. Di sini, rawan."

Mendengar ucapan Ibu pemilik warung membuatku berpikir keras.

"Rawan?" tanyaku.

"Di sana, belum lama ada kejadian tabrak lari Nak."

Jawab Ibu pemilik Warung sembari menunjuk jalan di depan sana.

"Setelah kejadian itu, beberapa orang yang melintas mengaku melihat penampakan sesosok remaja dengan wajah yang berlumuran darah. Mungkin, itu arwah korban." lanjutnya.

Aku tersenyum kecut mendengar ucapan Ibu Warung.
Sungguh kasian kamu, Rian.
Semoga aku bisa membantumu, agar arwahmu bisa tenang.

"Bantu aku memecahkan masalah ini, Rian." Batinku.

Aku memutuskan kembali melanjutkan pencarianku setelah Ibu Warung kembali masuk ke dalam.

Sebuah pohon besar yang di tumbuhi banyak semak menarik perhatianku.

"Itu, Dia!"

Dengan tidak menghiraukan jalan, aku segera menghampiri pohon itu.

"Aaakkkhhh!!!" sebuah cahaya mengagetkanku.

Sebuah motor dengan kecepatan sedang, melintas dan hampir menabrakku.
Reflek aku menghindar, namun sayang pahaku sedikit terserempet roda depan motor itu. Membuatku sedikit terbanting ke aspal.

"Ah! Sakit!" rintihku.

"Mas, enggak apa-apa? Maaf Mas, saya enggak sengaja."

Ucap seseorang yang baru saja turun dari motornya.

"Enggak apa-apa, Mas. Cuma keserempet sedikit."

"Saya akan bertanggung jawab, Mas. Mari saya antar ke klinik."

"Saya tidak apa-apa, Mas." ucapku meyakinkan.

Bruuukkk!

"Aakhh!" teriakku saat aku kembali terjatuh setelah mencoba berdiri.

"Sa ... Saya bantu, Mas."

Saat seorang laki-laki yang menyerempetku hendak memabantuku berdiri, nampak di kejauhan Ibu Warung tergopoh menghampiri.

"Kan, Saya sudah peringatin. Di sini itu rawan," omelnya dari kejauhan.

"Kita ke sana saja, Mas." pintaku sembari menunjuk satu-satunya warung yang ada di sini.

"Bawa ke dalam," perintah Ibu Warung.

Setelah kami sampai di dalam warung, kami disuguhi dua gelas teh hangat oleh pemiliknya.

"Terimakasih, Bu." Ucap kami berdua serempak.

Baru ku ketahui seseorang yang tak sengaja menyerempetku ini bernama Rudi.
Rudi bercerita, ia melihat sesosok remaja dengan wajah yang menyeramkan di dekat pohon besar itu, membuat Rudi hilang fokus dan akhirnya menabrakku.

Ibu warung menyarankan agar Rudi mengantarkan aku ke rumah setelah hari mulai terang.

Aku menyetujuinya.
Ada sesal karena harus mengurungkan pencarianku untuk sementara waktu.
Namun, ini demi keselamatan.
Aku harus memulihkan cidera yang aku alami, meski lukanya tidak seberapa.

Bersambung...‎

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Where stories live. Discover now