Titik Terang 4

4.3K 386 15
                                    

Teror Arwah Gentayangan #16

Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu sepi.
Malam ini begitu bising, teriakan dan bunyi kentongan yang bersahutan mengusik gendang telinga.

Tidak tau pasti apa yang terjadi di luar sana, namun dari tempatku berada aku bisa merasakan betapa tegangnya suasana disana.
Suara kentongan tidak terdengar lagi, tergantikan riuh orang yang bersorak. Bukan sorak gembira, tetapi seperti ikut menghakimi Mbok Nah.

Beberapa kali terdengar teriakan Mbak Sari, dan juga umpatan-umpatannya yang memekakan telinga.

"Kalau sampai terjadi sesuatu sama anakku gara-gara arwah sialan itu, Mbok dan Nisa harus bertanggung jawab!"

Mbak Sari terus saja berteriak.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, sampai akhirnya suara kentongan terdengar lagi.
Perlahan, rombongan yang sepertinya sedang mencari anak Mbak Sari itu mulai menjauh.
Suaranya perlahan menghilang.

Krriiiiettt ...,
Derit pintu yang terbuka, menampakan Dina yang baru kembali setelah ikut menyaksikan keributan di luar.

"Ada apa, Dek?" tanyaku penasaran.

"Itu, Mas! Ikmal anaknya Mbak Sari hilang,"

"Hilang bagaimana, Dek?"

Dengan sedikit terbata-bata, Dina menceritakan apa yang baru saja ia ketahui dari Mbak Sari.
Ikmal sedari sore histeris, ketakutan.
Seperti yang pernah kami lihat di makam almarhum tempo hari, Ikmal bersimpuh memohon ampun entah kepada siapa.
Mbak Sari tidak bisa melihat siapapun, namun menurutnya Ikmal selalu menyebut nama Rian.
Karena kondisi Ikmal yang tidak terkendali, Mbak Sari memutuskan menguncinya di dalam kamar.
Mbak Sari meninggalkan Ikmal tanpa penjagaan untuk pergi meminta tolong ke Pak Ustad.
Mbak Sari tidak bertemu dengan Pak Ustad, karena memang Pak Ustad tengah berada di rumah kami.
Setelah kembali ke rumah, kamar Ikmal sudah dalam keadaan kosong.
Jendela terbuka, sepertinya Ikmal keluar dari sana.
Tentu saja Mbak Sari syok, seketika berteriak mencari dan memanggil-manggil nama anaknya, dan itu memancing perhatian warga.

Berduyun-duyun warga membawa obor, dan sebagian lagi membawa kentongan untuk pergi mencari Ikmal.

"Jadi sekarang mereka pergi kemana, Dek?" tanyaku lagi setelah Dina selesai bercerita.

"Katanya mau cari sampai ke makam, Mas. Siapa tau kaya kemarin, Ikmal ada di makam almarhum,"

Aku mengangguk.
Sebenarnya ada rasa khawatir dan juga penasaran, ingin ikut pergi mencari.
Tetapi apalah dayaku? Kini kondisiku benar-benar tidak memungkinkan.
Badan rasanya sakit semua, untuk berjalan saja aku masih tertatih-tatih.
Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat.

"Besok pagi, aku mau ke rumah Mbak Sari ya Mas?" Ucap Dina meminta ijin.

"Mas temenin," jawabku.

"Tapi, Mas kan lagi begini."

"Enggak apa-apa, besok pasti sudah sembuh."

Dina mengangguk sebelum ia ikut berbaring disampingku.
Akhirnya aku dan Dina memutuskan untuk tidur.

Terpaan angin membuat wajahku terasa dingin.
Ku coba membuka mata, namun hanya gelap sejauh aku yang aku lihat.

Aku berjalan pelan, mencoba mengenali tempat yang kini aku tapaki. Namun nihil, tempat ini terasa asing bagiku.

"Rian, ampunin gue! Gue ngaku salah! Maafin gue, Rian!"

Jerit seseorang yang belum kuketahui sumbernya.
Ku tajamkan pendengaranku, mencari tau sumber suara.

"Jangan, Rian! Tolong, ampunin gue!"

Terdengar lagi suara orang minta tolong.
Kalau aku tidak salah, orang itu menyebut-nyebut nama Rian.
Mungkinkah itu Ikmal? Anak Mbak Sari?

"Ikmal!!" teriakku. Memastikan.

Tidak ada sahutan.
Aku tetap berusaha berjalan meski gelap menyelimuti.

"Aaaahhhh!!!"

Jeritan itu semakin jelas terdengar.
Seberkas cahaya mencuri perhatianku.
Aku berjalan mengikuti sumber cahaya.
Indera penglihatanku menangkap dua sosok remaja yang tengah berhadapan.

Seorang dari mereka sudah sangat aku kenal. Iya, itu almarhum Rian.
Seseorang lagi terus memundurkan badannya, seakan berusaha menjauh dari Rian.
Beberapa kali aku mengerjapkan mata agar bisa melihat dengan jelas, siapa gerangan yang bersama Rian.
"Bukannya, itu Ikmal? Ah iya, benar itu Ikmal." gumamku.

Meski hanya pernah melihatnya sekali, namun aku sangat yakin tidak salah mengenali. Itu benar Ikmal, anaknya Mbak Sari.

Sesaat kemudian, aku melihat Ikmal terjatuh.
Ia terus saja memohon ampun kepada Almarhum Rian.
Rian bergeming, dengan wajahnya yang pucat pasi ia terus berjalan mendekat ke arah Ikmal. Tatapannya kosong.‎
Ikmal terus beringsut mundur, menjauhi Rian. Tergambar jelas ketakutan pada diri Ikmal.‎

Dengan tetap membisu, Rian menundukkan badannya.
Mensejajarkan posisinya dengan Ikmal.
Kini Ikmal mematung, mulutnya terus meracau meminta pengampunan dari Rian.

"Gue mohon, maafin gue. Gue cuma iseng saja Rian. Gue cuma mau buktikan bahwa perasan jeruk nipis bisa bikin arwah orang yang meninggal jadi gentayangan."

Deg!

Jantungku tersentak kaget mendengar pengakuan dari mulut Ikmal.
Kukepalkan kedua tanganku mencoba menahan amarah yang bergemuruh di dada.
Tadi, apa katanya? Hanya iseng?
Andai Ikmal adalah adek ku, sudah pasti akan aku hajar habis.
Perbuatan yang sungguh tidak terpuji, bermain-main dengan urusan orang yang sudah meninggal.

"Ah! Jangan, Rian!" teriak Ikmal.

Rian nampak mengulurkan kedua tangannya.
Perlahan tangannya mendarat di leher Ikmal!

Aku ingin menghentikan Rian, namun mulut dan tubuhku kaku.
Sulit sekali mengeluarkan suara walau hanya sepatah kata.

"Ja ..., ja ...."

Suaraku tercekat ditenggorokan.

"Jangan, Rian! Gue mohon."

Ikmal terus menggelengkan kepalanya dengan kuat.
Air mata nampak merembas dari kedua matanya.

"Aaaahhh!!" teriak Ikmal.

"Jangan!!!"

Akhirnya suara itu keluar dari mulutku.
Saat kusadari kini aku sudah ada di kamarku.
Dengan posisi terduduk, aku terbangun dari mimpi.

Ku edarkan pandangan keseluruh penjuru kamar, namun tak ku temukan keberadaan Dina.

Ku langkahkan kaki keluar dari kamar.
Dina, tak juga kutemukan di seluruh bagian rumah ini.

Nampak dari jendela, matahari sudah meninggi.
"Sudah jam 9," gumamku saat melihat jam di dinding.

Ku langkahkan kaki menuju teras, namun saat aku hendak membuka pintu ternyata Dina sudah ada di depan.

"Dari mana, Dek?"

"I ... itu, Mas. Aku dari rumah Mbak Sari. Ikmal sudah ketemu, tapi sekarang lagi kesurupan. Belum sadar." Terang Dina membuatku tercengang.

"Astagfirullah. Antar Mas kesana, Dek."

Bersambung...‎

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Where stories live. Discover now