6. Satu Titik

201 39 4
                                    

'Aku tidak pernah tau seberapa besar luka yang berusaha kamu peluk, tapi mari kita peluk bersama. Biarkan pelukku setidaknya membuatmu merasa baik-baik saja.'

~Jarvis

Hidupkan Hidupmu

***

Yang tidak mereka sadari adalah ada yang mengikuti keduanya. Karena memang sekarang semua hal yang Hanna lakukan sedang dipantau, dengan mereka yang mencari keberadaan Hanna, tentu saja. Mereka tidak akan pernah melepaskan sesuatu yang memang merupakan kebutuhan untuk mereka.

Pria dewasa itu mengetuk pintu dengan tidak sabaran, dia tidak hanya sendirian, dia bersama dengan dua temannya. Jarvis mengerutkan dahinya, siapa pula yang datang ke rumah sembari mengetuk pintu dengan tidak sabaran begini? Biasanya kalau anggota keluarga pasti akan langsung masuk saja, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, apalagi jika ketukannya heboh begini, siapa yang datang?

Jarvis membuka pintu dan terdiam di tempatnya, siapa tiga orang ini? Rasanya Jarvis tidak pernah berurusan dengan bapak-bapak.

"Cari siapa, Pak?" Jarvis bertanya, dia hanya tinggal sendirian di sana dan seumur hidupnya tinggal di sana dia tidak pernah menerima tamu untuk dirinya sendiri selain teman-temannya. Kalaupun ada yang datang, mereka pasti datang karena memang mengira kalau oma dan opa masih hidup.

"Ada seorang wanita tinggal di sini? Saya mau cari dia." Seseorang yang berdiri paling depan dan berada di tengah membuka suaranya.

Jarvis terdiam sejenak, apa yang dimaksud adalah Hanna?

"Saya tinggal sendirian." Sekarang Jarvis akhirnya mulai bisa sedikit paham, jadi orang-orang di hadapannya ini yang melecehkan Hanna?

"Saya Papa Hanna!"

Hanna bukan tidak tahu dengan kedatangan mereka, dia tahu dan memilih membungkam mulutnya sendiri, memilih tetap diam karena semuanya tidak akan pernah bisa baik-baik saja jika dia keluar dan mengatakan pada Jarvis secara langsung kalau sesosok itu bukan papanya.

"Tapi saya tinggal sendirian di sini!" Jarvis masih bersikeras, dia juga tidak sebodoh itu, Hanna menceritakan beberapa hal soal luka-lukanya dan dia yakin kalau para bedebah ini adalah sebab luka-luka tersebut.

Orang yang berdiri tepat di hadapan Jarvis itu berusaha untuk melihat ke dalam rumah, Jarvis masih berdiri tenang di tempatnya, ya walaupun dia kalah jumlah, kalah postur tubuh juga, tapi seluruh tatapan dan gesture nya harus terlihat berani. Hanna datang kepadanya untuk meminta perlindungan dan Jarvis akan melindunginya.

"Nggak ada apa-apa di sini karena saya tinggal sendirian!" Jarvis menegaskan, karena kalau sudah tidak ada urusan, kenapa mereka tetap berada di sana.

"Baik, kami permisi." Beruntung sindiran Jarvis cukup ampuh untuk membuat orang-orang ini menyingkir dari sana. Ketiganya pergi dari rumah Jarvis, masuk ke dalam sebuah mobil sedan hitam dan meninggalkan pekarangan rumah.

Jarvis sendiri menghela napasnya lega, jujur kalau tadi mereka bersikeras, kemungkinan besarnya Jarvis akan kalah. Dia juga takut sebenarnya, jadi Hanna berurusan dengan mereka yang tubuhnya besar-beaar itu? Dan bagaimana mungkin dia mengakui dirinya sebagai papa dari Hanna? Agak sedikit tidak masuk akal dan sebenarnya apa yang terjadi dengan Hanna?

Begitu sampai di dalam rumah, Jarvis langsung menuju ke dapur untuk mencari keberadaan Hanna.

"Han..." Jarvis mendekat ke meja bawah kompor, Hanna meringkuk bersembunyi di sana.

Jarvis ikut berjongkok, dia terdiam sejenak, kelihatan kalau Hanna benar-benar ketakutan.

"Mereka semua udah pergi." Jarvis memberitahu agar perasaan Hanna sedikit lebih tenang.

"Ini gue Jarvis, gue nggak akan nyakitin lo." Jarvis menglurkan tangannya, Hanna menatap uluran tangan Jarvis, apa dia akan aman ketika menyambut uluran tangan tersebut.

Jarvis mengangguk. "Lo nggak perlu sembunyi di sini, lo nggak perlu takut, ada gue." Jarvis dengan matanya dan seluruh pergerakannya berusaha untuk meyakinkan Hanna.

Hanna akhirnya sedikit mengendurkan pelukan atas dirinya sendiri, dia akhirnya mengulurkan tangannya menyambut uluran tangan Jarvis dan keluar dari tempat persembunyiannya itu. Tanpa diduga begitu keluar Hanna langsung memeluk tubuh Jarvis sampai akhirnya Jarvis jatuh terduduk dengan Hanna yang ada di dalam pelukannya.

Jarvis diam, cukup terkejut, pelukan Hanna erat sekali, mengindikasikan banyak hal, terutama soal butuhnya dia pelukan, butuhnya dia dukungan, butuhnya dia sebuah perlindungan.

Jarvis akhirnya mengangkat tangan untuk menepuk punggung Hanna.

"Dia bukan papaku." Hanna memberitahu.

Jarvis mengangguk, karena memang sejak awal dia lebih percaya dengan Hanna.

"Kamu aman sama aku." Bahkan untuk memakai sapaan lo gue lagi, Jarvis sudah tidak tega. Tangannya masih menepuk punggung Hanna, berusaha untuk menyalurkan ketenangan.

***

Dan pada akhirnya memang kebanyakan Jarvis yang mengurus soal Hanna karena memang keberadaan Hanna di sana adalah sebuah pelarian. Jarvis membuatkan Hanna teh hangat dan duduk berdua di ruang keluarga, Jarvis memilih diam dan tetap menemani Hanna. Sama sekali tidak ada niat bertanya lebih lanjut, karena sama seperti sebelum-sebelumnya, ketika dia mulai nyaman, dia akan bercerita dengan sendirinya, tidak perlu dipaksa, luka-lukanya masih basah, mungkin memang masih butuh waktu untuk sembuh.

Jarvis hanya diam, sesekali dia melirik ke arah Hanna, belum ada satu bulan Hanna berada di sana, tapi sudah didatangi oleh orang-orang yang mencarinya.

"Maaf karena bikin rumah kamu jadi didatangi orang yang nggak jelas." Hanna menundukkan kepalanya merasa bersalah dengan Jarvis.

"Nggak masalah, yang penting kamu aman di sini." Setelah melihat bagaimana sosok orang yang mencarinya, Jarvis jadi lebih yakin untuk melindungi Hanna. Tubuh dan wauah mereka lumayan menyeramkan, wajar jika Hanna memiliki ketakutan yang berlebihan pada mereka.

"Terima kasih."

Jarvis hanya menganggukkan kepalanya, ini juga bukan rumahnya, hanya saja memang pengeluaran Jarvis jadi lebih banyak karena Hanna di sana.

"Dia papa tiriku dan mama meninggal lima bulan yang lalu." Hanna memulai cerita.

Jarvis hanya diam, tidak tahu juga harus menanggapi seperti apa, apalagi kalau soal duka. Dia tidak mau kalau pertanyaan yang dia lontarkan ternyata tidak nyaman untuk Hanna, lebih-lebih lagi dia tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi.

"Aku benci sama dia."

Jarvis mengangguk. "Kalau dia datang lagi, aku akan bilang kalau kamu nggak ada di sini. Kamu tenang aja, kamu aman di sini." Karena sudah pasti ketika seseorang membenci pasti ada alasan mendasarnya, tidak mungkin kalau sosok itu baik Hanna bisa sangat membencinya.

"Aku benci banget dan pengen kalau dia mati, aku mau bunuh dia."

Karena yang ada dipikiran Hanna sekarang, dia yang mati atau sosok bangsat itu yang mati. Dia benar-benar tidak ingin melihat wajah manusia biadab itu.

Jarvis menghela napasnya, sesakit itu sampai Hanna bercita-cita melakukan pembunuhan?

"Jangan kotori tangan kamu." Jarvis mengingatkan, mungkin Hanna akan puas, tapi hidupnya akan hancur, selamanya.

"Aku nggak mau melihat mukanya lagi, sampai kapan pun." Dan satu-satunya cara agar dia tidak bisa melihat wajah itu adalah dengan membunuhnya.

***

Halloooo

Jangan lupa dukungannya yaw

Hidupkan HidupmuWhere stories live. Discover now