10. Perihal Mengalah pada Kehidupan

167 41 17
                                    

'Mari kita tata seluruh kehancuran ini, bersamaku, hanya kebaikan yang akan kamu dapatkan.'

Hidupkan Hidupmu

~Thierogiara

***

Ini adalah hidupnya, semua hal yang Hanna jalani adalah tentang dirinya sendiri, dia berpikir soal apa yang bisa dia lakukan untuk membuatnya merasa cukup dengan semua ini, kemungkinan besarnya dia akan mati dan Hanna tidak mau mati sia-sia, untuk yang terakhir kalinya mungkin dia akan meninggalkan sesuatu. Hanna menghadap Jarvis, pria ini masih belum memberinya izin untuk keluar dari rumah.

"Kasih alasan yang jelas sebenarnya kamu mau ke mana? Kalau emang mau ke kampus biar aku anter." Jarvis memberikan sebuah jalan, dia tidak masalah sih walaupun mungkin harus menjadi supir Hanna, dia sudah berjanji dengan dirinya sendiri bahwa dia akan menjaga Hanna, meyakinkan Hanna kalau dunia Hanna akan baik-baik saja.

"Aku mau pulang."

Mendengar itu membuat Jarvis membelalakkan matanya, dia tidak salah dengar? Masalahnya adalah sumber segala masalah yang ada di dalam hidup Hanna adalah rumahnya, adalah sosok yang selama ini selalu Hanna katakan sebagai ayah tirinya, lantas apa ini?

"Ya udah aku temenin."

"Aku mau ambil beberapa baju dan mungkin akan menginap sebentar di sana." Hanna menjelaskan, dia sudah tidak punya pilihan lain sekarang ini.

"Ayah tiriku udah nggak di sana, jadi kamu tenang aja." Hanna berusaha meyakinkan Jarvis. Jarvis telah banyak sekali berkorban untuknya dan Hanna tidak mau kalau pria itu semakin jauh berkorban untuknya, dia tidak mau berhutang budi sampai sebegitunya.

Jarvis kemudian menyambar ponsel milik Hanna, dia mengetikkan kembali nomornya di sana, dia mengganti kontaknya menjadi kontak prioritas. "Kamu tinggal tekan satu, dan orang yang pertama kamu panggil adalah aku." Jarvis menyerahkan kembali ponsel Hanna, jadi kalau ada apa-apa dia bisa langsung datang.

Hanna menipiskan bibirnya. "Terima kasih udah peduli sampai sejauh ini." Hanna berucap, kalau tidak ada Jarvis mungkin sekarang dia sudah berada di alam yang berbeda, sudah memutuskan untuk mati sejak jauh-jauh hari.

Jarvis diam sejenak, perasaannya masih kurang enak setuju begitu saja dengan apa yang Hanna inginkan. "Aku akan cari kamu ke ujung dunia sekalipun kalau kamu nggak kembali ke sini." Jarvis tidak menatap Hanna, tapi ini adalah kalimat yang paling meyakinkan yang pernah dia ucapkan dengan seseorang, Hanna membuatnya menjadi sosok yang lebih dewasa, memiliki pemikiran yang cukup terbuka atas semua hal.

Hanna menganggukkan kepalanya, bahkan mungkin sejak sekarang dia butuh sekali bahu Jarvis untuk tempat bersandar, butuh seseorang yang bisa memeluknya kapan saja seperti yang sering Jarvis lakukan. Hanna hanya memakai hoodie dan celana jeans yang membalut tubuhnya, dia kemudian mengambil tas punggungnya, dia bangkit dari posisi duduknya.

Jarvis kemudian menghampiri dan langsung mendekap tubuh Hanna, dia masih memiliki harapan besar agar Hanna kembali ke rumahnya ini dengan keadaan baik-baik saja, masih berharap kalau Hanna akan baik-baik saja.

"Aku nggak mau dengar kabar yang aneh-aneh, jadi aku mohon kembalilah dengan keadaan yang baik, pulanglah ke sini kalau memang udah nggak ada yang bisa kamu anggap rumah, aku akan selalu siap untuk menjadi tempat pulangmu." Jarvis membelai belakang kepala Hanna, perlahan memang Jarvis meyayanginya, perlahan dia tidak siap jika tahu kalau Hanna kenapa-napa, ada banyak hal yang membuat Jarvis ingin selalu memastikan kalau keadaan Hannsa baik-baik saja.

Hanna menganggukkan kepalanya, dia bahkan tidak tahu bagaimana nasibnya setelah ini, tapi di hati kecilnya dia berharap kalau semuanya akan baik-baik saja setelah ini.

***

Hanna kemudian menangis di atas angkot yang dia tumpangi untuk menuju ke rumahnya, lebih tepatnya rumah orang tuanya, yang sebenarnya dia lahir di sana, dirawat dengan sepenuh hati oleh kedua orang tuanya, sampai di hancurkan juga di sana oleh orang-orang baru yang seenaknya masuk ke dalam hidupnya, dia tidak sekuat itu, seluruh kepedulian Jarvis atas dirinya benar-benar membuatnya merasa terharu dengan semuanya.

Hanna menghapus sudut matanya sekali lagi, dia benar-benar harus siap, dia pernah melalui yang lebih buruk dari ini, nyatanya apa? Dia bahasil walaupun mungkin harus merendahkan harga dirinya di hadapan seorang Jarvis, tapi paling tidak dia sudah berjuang, dia berjuang untuk tetap bisa menapaki bumi ini.

Hanna menarik napasnya beberapa kali ini sudah menjadi keputusannya dan dia sama sekali tidak boleh kalah atas apa pun, atas semua hal yang sudah dia lalui di dalam hidupnya, dia harus menang setidaknya melawan dirinya sendiri, kehidupan memang sudah tidak adil sejak awal, kehidupan memang sudah jagat dengannya sejak awal, jadi Hanna harus memiliki pertahanan tubuh yang kuat, harus bisa menahan dirinya atas segala sesuatunya.

Hanna turun di sebuah pemberhentian di depan apotek, karena di sebelah apotek tersebut ada gang kecil, jadi nanti dia akan masuk ke sana untuk bisa mencapai rumahnya, rumah miliknya yang sialnya dikuasai oleh si bangsat satu itu. Hanna ke apotek dulu, membeli obat sakit kepala dan membeli minum juga, dia mendudukkan diri dulu di depan apotek, berusaha untuk menenangkan dirinya dulu, setelahnya baru kembali melangkah dan berjalan menuju ke rumah, Hanna menyapa beberapa orang yang memang dia kenal di sana, berusaha kelihatan baik-baik saja, kalau soal menyembunyikan luka, Hanna adalah yang terbaik yang pernah ada. Kalau bisa jangan sampai ada satu orang pun yang sadar kalau dia sedang tidak baik-baik saja.

Bangun rumahnya akhirnya kelihatan dari tempatnya berdiri, jadi sebenarnya Bagas, ayah tirinya memiliki usia yang tidak jauh dari Hanna, dia sepertinya masih berusia tiga delapan tahun, berbeda dua belas tahun dengan mamanya dan sekarang mamanya sudah meninggal, beda delapan belas tahun dengan Hanna, karena akhirnya mereka adalah ayah dan anak, tentu saja Hanna tidak pernah mau diajak menjalin hubungan, dia sendiri jijik dengan pria itu. Tapi, nasib badan sama sekali tidak ada yang pernah tahu, Hanna tetap terjerumus pada lembah hitam di mana kesuciannya direnggut oleh ayah tirinya sendiri, penderitaan tidak hanya sampai di sana, dia sering dipukuli bahkan digulir oleh Bagas dan teman-temannya. Hanna berusaha menguatkan hatinya, walaupun rumah ini adalah luka untuknya, walaupun luka-lukanya masih belum sembuh, Hanna tetap harus melangkah dan maju ke sana.

Dengan langkah pasti Hanna maju dan mengetuk pintu rumah, biasanya Bagas hanya selalu sendirian karena dulunya mereka berdua di rumah itu, Hanna berusaha meyakinkan dirinya sendiri soal banyak hal, soal semuanya akan baik-baik saja.

Bagas membuka pintu rumah, dia kemudian langsung tersenyum saat melihat siapa yang datang, tentu saja karena gadis ini selalu menjadi yang paling bisa dia manfaatkan.

"Menyeramkan kehidupan di luar sana?" Bagas bertanya.

Hanna menganggukkan kepalanya. "Iya, makanya aku mau di sini selamanya."

***

Hayoooo

Ada apa neh?

Jangan lupa dukungannya!

Hidupkan HidupmuΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα